Senin, 13 April 2009

Kepemimpinan, Motivasi Kerja, dan Kinerja Karyawan Perusahaan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas dan memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap masyarakat timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin adalah orang kebanyakan. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.
Jika melihat perkembangan berbagai teori mengenai kepemimpinan yang ada, maka timbul suatu kesadaran bahwa perkembangan teori kepemimpinan telah berkembang sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan yang ada. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan anggota lain berusaha mencapai tujuan.
Berangkat dari pengertian kepemimpinan itu sendiri, sejak awal mula telah banyak ahli mencoba mendefinisikannya dengan berbagai aspek dan pendekatannya. Istilah ini pun telah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut bidang yang sangat luas.
Para ilmuwan memberi arti terhadap kepemimpinan, seperti R.M Stogdill dalam bukunya Miftah Thoha (2007:260) berpendapat bahwa dalam kepemimpinan terdapat unsur kekuasaan yang merupakan sarana pemimpin untuk mempengaruhi perilaku para pengikutnya.
Sementara Robert Dubin dalam bukunya Miftah Thoha (2007:259) berpendapat bahwa kepemimpinan dapat diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuatan keputusan. Wirawan (2002:98) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan interaksi sosial antara pemimpin dan pengikut dalam interaksi sosial kedua belah pihak dapat saling memberikan kebebasan untuk menggunakan kekuasaannya untuk mencapai tujuan sistem sosial dan tujuan pribadi masing-masing. Menurut Northouse, P.G. (2003:3) kepemimpinan adalah suatu proses dimana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan umum. Pengertian ini dipertajam oleh Dubrin, A.J. (2001:3) bahwa kepemimpinan itu adalah kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Dari beberapa definisi yang telah diajukan tersebut secara jelas menunjukkan bagaimana kepemimpinan tersebut diartikan, yaitu berkaitan usaha mempengaruhi dan menggunakan wewenang. Pengertian tersebut memberi suatu pemikiran bahwa pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang melakukan sesuatu seperti yang diharapkan pemimpin.
Kepemimpinan itu ada pada diri pemimpin atau manajer. Dari aspek karakteristik dibedakan antara karakteristik pemimpin (Leader) dengan karakteristik manajer. Luthans (2002:576) menegaskan bahwa karakteristik pemimpin di abad XXI adalah : menciptakan sesuatu yang baru (Innovates), asli dari pemimpin (An original), mengembangkan (Develops), terkonsentrasi pada manusia (Focuses on people), menghidupkan rasa percaya (Inspires trust), memiliki perspektif jangka panjang (Long range perspective), ia menanyakan apa dan mengapa (Asks what and why), berpandangan sama pada sesamanya (Eye on the horizon), memiliki keaslian (Originates), menentang kemapanan (Challenges the status quo), mengakui tanggung jawab ada pada pemimpin (Own person), mengerjakan dengan benar (Does the right thing).
Salah satu teori mengenai kepemimpinan paling awal yaitu teori sifat memandang bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, yaitu : memiliki intelegensi yang tinggi, berkharisma, mampu membuat keputusan, antusias, memiliki kekuatan, berani, memiliki integritas, dan percaya diri. Banyak contoh mengenai pemimpin dengan karakteristik demikian, antara lain : Mahatma Gandhi, Martin Luther, Jr. , Joan of Arc, dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, tidak semua pemimpin memiliki kesemua karakateristik, ada diantara mereka yang hanya memiliki beberapa karakteristik tersebut namun telah mampu menggerakkan orang kebanyakan. Teori ini mendasarkan pemikiran bahwa pemimpin itu dilahirkan.
Pandangan teori yang lebih baru memperkenalkan kepemimpinan situasional, yaitu keberhasilan kepemimpinan melibatkan sesuatu yang lebih kompleks dari hanya sekedar sifat-sifat tertentu atau perilaku-perilaku yang diinginkan. Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektifivitas kepemimpinan bergantung pada sejumlah kondisi, satu gaya kepemimpinan hanya tepat diterapkan pada satu kondisi atau situasi tertentu Robbins & Coultar (1996). Jadi dengan demikian seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kepekaan membaca situasi sehingga ia tahu mana gaya yang paling tepat yang harus dia munculkan dalam situasi tersebut.
Dalam bukunya Absolute Leadership, Philip Crosby (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pada pengalamannya pribadi selama bertahun-tahun kualitas kepemimpinan tidak hanya sekedar kemampuan untuk merespon secara efektif terhadap situasi tertentu, tetapi seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang diarahkan oleh kemutlakan tertentu (certain absolute). Dia tidak membahas mengenai suatu gaya kepemimpinan tertentu, atau memberikan suatu resep bagi keberhasilan pemimpin, namun dia melihat praktek kepemimpinan sebagai suatu penjabaran dari keyakinan pemimpin yaitu suatu inti kompetensi personal yang tinggi yang sungguh-sungguh dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin pada hakekatnya harus memegang teguh suatu gambaran besar dalam pikirannya baik yang berkaitan dengan budget dan finansial, kualitas produk, pelayanan. Pada kenyataan bahwa kualitas kepemimpinan tumbuh dan tercipta dari hubungan dengan orang-orang lain dalam organisasi dan bahwa pemimpin harus meluangkan waktu untuk menjaga hubungan tersebut. Penekanan yang ada adalah menyentuh pada hubungan emosi tidak hanya pada rasio saja. Jadi kepemimpinan lebih menyentuh pada hati dan jiwa. Pemimpin yang sesungguhnya adalah seseorang yang mengetahui bahwa keberhasilannya tidak tergantung kepada gelarnya, tetapi pada pilihan yang mereka buat dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh. Lebih lanjut Philip Crosby (1996) mengartikan kepemimpinan adalah secara sengaja menumbuhkan tindakan dalam diri orang dalam suatu cara yang terencana yang bertujuan untuk memenuhi agenda pemimpin. Dari definisi ini terkandung pengertian bahwa memilih orang secara berhati-hati dan mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan yang ada dengan jelas dalam pikiran, mendorong orang untuk berusaha mencapai tujuan, mengarahkan untuk peka terhadap segala yang terjadi serta mengambil sikap tertentu untuk mengantisipasinya, yang terakhir adalah bahwa pemimpin harus memiliki agenda yang jelas mengenai apa dan bagaimana kehendak mereka.
Kepemimpinan yang absolut menurut Philip Crosby (1996) adalah kepemimpinan yang memiliki :
1. Clear Agenda, seorang pemimpin idealnya memiliki dua agenda; satu agenda bagi dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semu pekerjaan yang dilakukan sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang memang sungguh-sungguh ia inginkan bagi dirinya sendiri dan hanya dia pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang dapat dengan jelas diterima dan tujuan yang ditentukan dapat diukur.
2. Personal Philosophy, seorang pemimpin hendaknya memiliki philosophi pelaksanaan yang bersifat pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan philosophi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan.
3. Enduring Relationship, kehidupan organisasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah transaksi dan hubungan. Kunci untuk menjaga suatu hubungan adalah adanya penghargaan terhadap orang lain, memandang orang lain dengan cara yang positif dan keinginan untuk bekerja sama. Orang lain dalam hal ini tidak hanya terbatas pada anggota-anggota saja tetapi termasuk di dalamnya adalah customers, peers, coworkers, maupun suppliers.
4. Worldly, mendunia (being ’worldly’) berkaitan dengan budaya lain, tekhnologi, dan pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu memanfaatkan tekhnologi-tekhnologi baru, memahami pasar global, penghargaan terhadap orang lain, budaya, kondisi dan praktek-praktek bisnis yang berlangsung. Berarti pula mengetahui apa yang sedang terjadi dan mengumpulkan informasi yang bersifat up-to-date.
Teori tentang analisis kepemimpinan berdasarkan ciri, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan ”traits theory”- menurut Sondang P. Siagian (2003:75) dalam buku Teori & Praktek Kepemimpinan.


Menurut Sondang P. Siagian (2003:75) dalam buku Teori & Praktek Kepemimpinan. Ciri-ciri yang menyatakan bahwa seorang pemimpin efektif, yaitu :
1. Pengetahuan umum yang luas,
1. Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang,
2. Sifat inkuisitif,
3. Kemampuan analistik,
4. Daya ingat yang kuat,
5. Kapasitas integratif,
6. Ketrampilan berkomunikasi secara efektif,
7. Ketrampilan mendidik,
8. Memiliki rasionalitas yang tinggi,
9. Memiliki obyektifitas yang baik,
10. Bersifat pragmatisme (mau menerima kenyataan yang ada),
11. Memiliki kemampuan menentukan skala prioritas,
12. Kemampuan membedakan yang urgen dan yang penting,
13. Rasa tepat waktu,
14. Memiliki rasa kohesi yang tinggi (mampu menjaga dan memelihara
kekompakan tim kerjanya),
15. Memiliki naluri relevansi yang tinggi,
16. Mampu menjadi teladan,
17. Bersedia menjadi pendengar yang baik,

18. Memiliki adaptabilitas (tanggap terhadap perubahan yang terjadi dan
mampu menyesuaikan diri) yang baik,
19. Memiliki fleksibilitas (kelenturan) yang baik,
20. Ketegasan,
21. Keberanian,
22. Orientasi masa depan,
23. Memiliki sikap yang antisipatif (bersifat proaktif).

Peter F. Drucker (1996) dalam bukunya mengenai The Leader of The Future lebih menekankan mengenai bagaimana hendaknya seorang pemimpin bersikap dalam menghadapi dunia di masa yang akan datang. Dia mengatakan bahwa pemimpin yang efektif tidak hanya sekedar mendelegasikan kepada anak buahnya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kepemimpinan harus dipelajari dan dapat dipelajari.
Gaya kepemimpinan mencerminkan apa yang dilakukan oleh pemimpin dalam mempengaruhi pengikut untuk merealisasikan visinya. Fred Luthans dalam bukunya Wirawan (2002:80), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin mempengaruhi para pengikutnya yang disesuaikan dengan faktor budaya. Pola pikir Robert Tannenbaum dan Warren H dalam bukunya Wirawan (2002:98) memiliki teori dengan model gaya kepemimpinan berbagi kekuasaan. Model ini disusun dengan asumsi bahwa kepemimpinan merupakan proses interaksi kekuasaan antara pemimpin dan para pengikutnya. Hubungan tersebut didasarkan pada tinggi rendahnya kebebasan penggunaan kekuasaan oleh pemimpin dan tinggi rendahnya kebebasan pengikut untuk menggunakan kekuasaan mereka dalam interaksi kepemimpinan. Kebebasan mempergunakan kekuasaan diaplikasikan oleh pemimpin dan para pengikutnya untuk berinisiatif, mengembangkan dan menggunakan kreativitas dan inovasi, mengambil keputusan, menggunakan teknik mempengaruhi, dan menyusun pola komunikasi.
Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin para pengikutnya. Perilaku para pemimpin ini secara singkat disebut gaya kepemimpinan (Leadership style). Gaya kepemimpinan merupakan suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya yang dinyatakan dalam bentuk pola tingkah laku atau kepribadian.
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin umumnya dipengaruhi oleh sifat-sifat pemimpin itu sendiri. Dimana sifat-sifat tersebut dapat terlihat melalui kepribadian sehari-harinya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepribadian yang dinyatakan dalam gaya kepemimpinan tersebut, antara lain:
Jenis kelamin
Pria dan wanita umumnya memiliki sifat mendasar yang berbeda, sebagai contoh wanita cenderung menggunakan perasaannya dan bertindak lembut, sebaliknya pria lebih menggunakan kemampuan berpikir dan bertindak keras.


Usia
Secara umum orang berusia muda cenderung memiliki sifat yang dinamis dan idealis. Sebaliknya semakin bertambah usia seseorang cenderung pula mengurangi kemampuannya berpikir dan bekerja lebih keras. Tentunya hal ini tidak selalu berlaku pada setiap orang.
Fisik, Mental dan Pikiran (Intelektual)
Setiap manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang unik, artinya tidak ada satupun manusia yang memiliki keberadaan yang sama satu dengan lainnya. Perbedaan ini terlihat dari fisik (tubuh) , mental dan pikirannya yang akhirnya mempengaruhi kepribadiannya.
Pendidikan
Salah satu faktor yang membentuk kehidupan manusia adalah pendidikan yang pernah diterimanya, baik di lembaga pendidikan yang bersifat formal maupun informal. Semakin tinggi pendidikan yang pernah diterima seseorang, umumnya akan semakin menambah wawasan dan kemampuannya.
Kematangan
Proses waktu cenderung akan membentuk kematangan atau kedewasaan seseorang, semakin ia belajar akan kesalahan-kesalahan dan berusaha untuk memperbaikinya, semakin ia bertambah dewasa untuk mengerti banyak hal.
Latar Belakang Kehidupan
Kehidupan manusia dimulai dan diakhiri dengan latar belakang yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh latar belakang budaya. Nilai dan norma yang berbeda. Yang pada intinya dapat bersumber dari keluarga, kerabat, teman dan masyarakat secara umum.

Gaya kepemimpinan mencerminkan apa yang dilakukan oleh pemimpin dalam mempengaruhi pengikut untuk merealisasikan visinya. Fred Luthans dalam bukunya Wirawan (2002:80) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin mempengaruhi para pengikutnya yang disesuaikan dengan faktor budaya. Pola pikir Robert Tannenbaum dan Warren H dalam bukunya Wirawan (2002:98) memiliki teori dengan model gaya kepemimpinan berbagi kekuasaan. Model ini disusun dengan asumsi bahwa kepemimpinan merupakan proses inteaksi kekuasaan antara pemimpin dan para pengikutnya. Hubungan tersebut didasarkan pada tinggi rendahnya kebebasan penggunaan kekuasaan oleh pemimpin dan tinggi rendahnya kebebasan pengikut untuk menggunakan kekuasaan mereka dalam interaksi kepemimpinan. Kebebasan menggunakan kekuasaan diaplikasikan oleh pemimpin dan para pengikutnya untuk berinisiatif, mengembangkan dan menggunakan kreatifitas dan inisiatif, mengambil keputusan, menggunakan teknik mempengaruhi, dan menyusun pola komunikasi.





Gambar 2.1.
Perilaku Kontinum Pemimpinan

kepemimpinan
terpusat pada atasan terpusat pada bawahannya




Pengunaan Otoritas oleh Pemimpin






Daerah kebebasan untuk bawahan









Deretan Perilaku
Sumber: Miftah Thoha (2007:51)
Menurut Sondang P. Siagian (2003:75) dalam pembahasan tipologi kepemimpinan bahwa gaya kepemimpinan seseorang tidak bersifat ”fixed”, artiya seseorang yang menduduki jabatan pimpinan mempunyai kapasitas untuk ”membaca” situasi yang dihadapinya secara tepat dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya, meskipun penyesuaian itu mungkin hanya bersifat sementara. Karena penyesuaian-penyesuaian tertentu memang merupakan kenyataan kehidupan manajerial seseorang yang menduduki jabatan pimpinan, logis apabila dikenali terlebih dahulu tipe-tipe pemimpin yang dikenal dewasa ini. Logis karena penyesuaian yang perlu dilakukan perubahan dari satu ke tipe yang lain, suatu perubahan yang mungkin hanya selama berlangsungnya situasi tertentu menuntut penyesuaian tersebut.


Lima tipologi kepemimpinan yang diakui keberadaannya yaitu :
1. Ciri dan Gaya Kepemimpinan : Otokratik
a. Menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya.
b. Dalam menegakkan disiplin menunjukkan kekakuan.
c. Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi.
d. Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadinya penyimpangan oleh bawahan.
2. Ciri dan Gaya Kepemimpinan : Paternalistik
a. Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat yang agraris.
b. Rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat kepada orang tua atau seseorang yang dituakan.
c. Pengambilan keputusan atau kebijakan operasional dilakukan oleh pemimpin dengan informasi yang disediakan oleh pengikut.
d. Pemimpin melaksanakan prinsip bahwa mereka adalah tauladan yang harus diikuti para pengikut kemudian motivasi mereka, dan dari belakang mempengaruhi serta mengevaluasi para pengikutnya.
e. Pemimpin menganggap dan memperlakukan pengikut sebagai orang yang belum dewasa dan perlu dibimbing terus menerus.
f. Komunikasi dua arah dapat terjadi ketika pemimpin menghendakinya.

3. Ciri dan Gaya Kepemimpinan : Kharismatik
a. Ada karakteristik yang khas yaitu daya tariknya yang sangat yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar.
b. Pemimpin menentukan visi, misi, strategi dan target organisasi dengan dukungan informasi dan partisipasi dari para pengikut.
c. Pemimpin bersama-sama para pengikutnya mengambil keputusan untuk melaksanakan visi, misi, strategi dan tugas organisasi.
d. Pemimpin melakukan pembagian tugas dan mendelegasikan sebagian tugas dan wewenangnya kepada pengikutnya.
Ciri dan Gaya Kepemimpinan : Pemimpin Terima Beres (Laissez Faire)
a. Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif.
b. Pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut keterlibatannya secara langsung.
c. Status quo organisasional tidak terganggu.
d. Penumbuhan dan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri.
e. Sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.
5. Ciri dan Gaya Kepemimpinan : Demokratik
a. Kebebasan pemimpin dan pengikut untuk menggunakan kekuasaannya sedang dan saling mengontrol.
b. Pemimpin berpendapat tidak dapat melakukan tugasnya dan mengambil keputusan tanpa para pengikutnya.
c. Pengikut tidak dapat melakukan tugasnya tanpa pemimpinnya.
d. Penentuan visi, misi, dan strategi organisasi dilakukan bersama pemimpin dan para pengikutnya dipimpin oleh pemimpin.
e. Dalam mengambil keputusan maka pengumpulan informasi mengumpulkan alternatif, dan memilih untuk melaksanakan pekerjaan bersama-sama dengan pengikutnya.
f. Pemimpin dan pengikut secara bersama-sama membuat rencana kegiatan dan dilaksanakan oleh pengikut di bawah supervisi pemimpin.
g. Komunikasi berlangsung secara formal dan informal secara tiga arah, kebawah, atas, dan menyamping.

Penggunaan setiap gaya kepemimpinan ditentukan oleh keadaan pengikut dan situasi kepemimpinan. Pemimpin dapat mempergunakan sejumlah gaya kepemimpinan secara bersama-sama tergantung dari situasi kepemimpinan yang dibutuhkan.
Salah satu fungsi penting dari kepemimpinan adalah pengambilan keputusan. Sebagian besar waktu, perhatian, dan pikiran pemimpin digunakan untuk proses pengambilan keputusan. Semakin tinggi posisi seseorang maka keputusan akan semakin menjadi tugas utamanya. Faktor-faktor seperti ketegasan, cara pemimpin mengambil keputusan, dan isi keputusan akan sangat mempengaruhi perilaku dan sikap para pengikutnya dalam melaksanakan keputusan tersebut yang kemudian menentukan kinerja organisasi dalam mencapai tujuannya.
Menurut Miftah Thoha (2007:64) dalam buku Kepemimpinan dalam Manajemen. Dalam hubungannya dengan perilaku pemimpin, ada dua hal yang biasanya dilakukan oleh pemimpin terhadap bawahan atau pengikutnya, yaitu: perilaku mengarahkan dan perilaku mendukung. Gaya kepemimpinan tersebut merupakan norma yang digunakan sewaktu mencoba mepengaruhi perilaku orang lain seperti dilihat oleh orang lain tersebut. Oleh karena pada hakikatnya perilaku dasar pemimpin yang mendapat tanggapan para pengikutnya, maka ketika pemimpin tesebut melakukan proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan, empat gaya dasar yang diuraikan di muka dapat diaplikasikan dan diidentifikasikan dengan suatu proses pengambilan keputusan tersebut.
Gambar 2.2
Empat Gaya Dasar Kepemimpinan dalam Proses Pembuatan Keputusan
Partisipasi (G3)
Konsultasi (G2)
Delegasi (G4)
Intruksi (G1)
Sumber: Miftah Thoha (2007:66)
Penjelasan dari empat gaya dasar kepemimpinan dalam proses pembuatan keputusan yaitu:
1. Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan (G1) dirujuk sebagai instruksi karena gaya ini dicirikan dengan komunikasi satu arah.
2. Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi dukungan (G2) dirujuk sebagai konsultasi, karena dalam menggunakan gaya ini, pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir sama dengan keputusan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan komunikasi dua arah dan perilaku mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka. Meskipun dukungan ditingkatkan, pengendalian (control) atas pengambilan keputusan tetap pada pemimpin.
3. Perilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah pengarahan (G3) dirujuk sebagai partisipasi, karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara bergantian.
4. Perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan rendah pengarahan (G4) dirujuk sebagai delegasi, karena pemimpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai definisi masalah yang dikemudian proses pembuatan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan.
Proses pengambilan keputusan yang dipergunakan oleh pemimpin memang mempengaruhi interaksi antara pemimpin dan pengikut dalam kepemimpinan. Akan tetapi proses pengambilan keputusan hanya salah satu dari banyak dimensi gaya kepemimpinan yang saling terkait. Pola perilaku pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya (gaya kepemimpinan) merupakan sesuatu berdimensi banyak dan pola perilaku pengambilan keputusan merupakan salah satu dari dimensi tersebut.

2.2. Motivasi Kerja
Pada umumnya para ahli teori perilaku beropini bahwa dalam setiap perilakunya manusia mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Keberadaan tujuan tersebut, menjadi tumpuan sinergi dengan para ahli teori motivasi yang berusaha berfikir dan mencari cara agar manusia dapat didorong berkontribusi memenuhi kebutuhan dan keinginan organisasi. Tanpa motivasi mereka bekerja dalam keadaan sakit hati yang menjurus pada ketiadaan kontribusi bahkan terbuka peluang kontribusi yang merugikan.
Motivasi adalah perpaduan antara keinginan dan energi untuk mencapai tujuan tertentu. Mempengaruhi motivasi seseorang berarti membuat orang tersebut melakukan apa yang kita inginkan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Hadari Nawawi (2005:351) bahwa motivasi berasal dari kata dasar motif yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, yang berlangsung secara sadar.
Motivasi merupakan sesuatu yang mendorong seseorang bertindak atau berperilaku tertentu. Motivasi membuat seseorang memulai, melaksanakan dan mempertahankan kegiatan tertentu (Mamduh M. Hanafi; 2003:306). Motivasi merupakan faktor penting yang mendukung prestasi kerja. Meskipun demikian motivasi bukanlah satu-satunya pendukung prestasi kerja. Prestasi kerja seseorang tergantung dari faktor lain yaitu kemampuan (ability) dan persepsi peranan (role perception). Kemampuan yang baik, persepsi peranan yang tepat, dan motivasi yang tinggi merupakan kunci prestasi kerja.
Motivation is a complex subject. It involves the unique feellings, thoughts, and past experiencies of each of us we share a variety of relationship within and outside organizations. To expect a single motivational approach to work in every situation is probably unrealistc. (William B. Werther and Keith Davis, 1996:500).

(Motivasi adalah suatu permasalahan yang kompleks. Karena didalamnya menyangkut hal-hal yang meliputi perasaan, pikiran dan pengalaman dari masing-masing individu, yang dipengaruhi hubungan baik dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi. Oleh karenanya memberikan pendekatan motivasi secara individual untuk bekerja di setiap situasi tidaklah realistis).
Motivasi adalah suatu fenomena psikologis, sehingga kita perlu mengetahui pendapat dari para psikolog. Pimpinan Affiliated Psychological Services, Mungo Miller, mencetuskan enam prinsip umum motivasi sebagai berikut :
1. Motivasi adalah proses psikologis, atau lebih tepatnya proses emosional, bukan logis.
2. Motivasi pada dasarnya adalah proses yang tidak kita sadari. Tindakan yang kita atau orang lain lakukan mungkin saja tampak tidak logis, namun bagi orang yang melakukannya, tindakannya tampak wajar dan masuk akal.
3. Motivasi bersifat individual. Tingkah laku seseorang bersumber dari dirinya sendiri.
4. Motivasi tiap orang berbeda, begitu juga setiap individu bervariasi dari waktu ke waktu.
5. Motivasi adalah proses sosial. Tidak dapat diingkari, bahwa terpenuhi atau tidaknya kebutuhan kita tergantung dari orang lain.
6. Dalam tindakan sehari-hari, kita dipandu oleh kebiasaan yang bersumber dari motivasional di masa lalu.

Dalam bukunya ”Competent to Lead” penelitian Kenneth O. Gangel (2000) , menunjukkan bahwa orang tidak termotivasi untuk bekerja lebih baik, karena dia mendapat gaji yang lebih tinggi atau tunjangan yang lebih banyak.


Motivasi seseorang sering kali dipengaruhi oleh dua hal berikut :
1. Seberapa mendesaknya suatu kebutuhan. Misalnya, kita merasa lapar, namun harus menyelesaikan satu tugas dengan segera. Kalau kita merasa sangat lapar, kita akan makan. Tapi bila kita hanya sedikit merasa lapar, kita akan memilih untuk menyelesaikan tugas.
2. Anggapan bahwa tindakan akan memenuhi suatu kebutuhan. Misalnya, ada dua kebutuhan yang mendesak, keinginan untuk menyelesaikan tugas atau makan. Persepsi tentang bagaimana kita memandang dua kebutuhan tersebut sangat menentukan mana yang akan diprioritaaskan. Kalau kita berpikir bahwa kita bisa dipecat karena tugas tidak selesai, kita akan mengorbankan waktu makan siang untuk mengerjakannya. Sebaliknya, jika kita merasa tidak akan mendapat masalah walaupun pekerjaan itu tidak selesai, kita akan pergi untuk makan siang.
Orang dapat termotivasi karena kepercayaan, nilai, minat, rasa takut, dan sebagainya. Diantaranya adalah faktor internal seperti kebutuhan, minat, dan kepercayaan. Faktor lainnya adalah faktor eksternal, misalnya bahaya, lingkungan, atau tekanan dari orang yang dikasihi. Tak ada proses yang mudah dalam motivasi, kita harus selalu terbuka dalam memandang orang lain.
Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan ketrampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan mau bekerja dan antusias untuk mencapai produktivitas tinggi.
Teori Motivasi dikelompokkan atas :
1. Teori Kepuasan (Content Theory)
Teori ini mendasarkan pendekatannya atas faktor-faktor kebutuhan dan kepuasan individu yang menyebabkannya bertindak dan berperilaku dengan cara tertentu.
2. Teori Proses (Process Theory)
Teori ini merupakan proses ”sebab dan akibat” bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang akan diperolehnya. Jadi hasil yang dicapai tercermin dalam bagaimana proses kegiatan yang dilakukan seseorang, hasil hari ini merupakan kegiatan hari kemarin.

Maslow’s Needs Hierarchy Theory (1943) didalam bukunya Malayu S.P. Hasibuan (2007:153) menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan seseorang itu jamak yaitu kebutuhan biologis dan psikologis berupa materiil dan non materiil. Adapun dasar dari teori itu adalah :
1. Manusia adalah makhluk sosial yang berkeinginan; ia selalu menginginkan lebih banyak. Keinginan ini terus-menerus, baru berhenti jika akhir hayatnya tiba.
2. Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivasi bagi pelakunya; hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi alat motivasi.
3. Kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat (hierarchy) sebagai berikut :
a. Physiological Needs
Kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seseorang, seperti makan, minum, udara, perumahan dan lain-lainnya
b. Safety and Security Needs
Kebutuhan akan keamanan dari ancaman yakni merasa aman dari ancaman kecelakaan dan keselamatan dalam melakukan pekerjaan.
c. Affiliation ar Acceptance Needs
Kebutuhan sosial, teman, dicintai dan mencintai serta diterima dalam pergaulan kelompok karyawan dan lingkungannya.
d. Esteem or Status or Needs
Kebutuhan akan penghargaan diri, pengakuan serta penghargaan prestise dari karyawan dan masyarakat lingkungannya.
e. Self Actualization
Kebutuhan akan aktualisasi diri dengan menggunakan kecakapan, kemampuan, keterampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain.

Kenapa motivasi harus dilakukan pimpinan terhadap karyawannya? Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:148) :
1. Karena pimpinan membagi-bagikan pekerjaannya kepada para bawahan untuk dikerjakan dengan baik.
2. Karena ada bawahan yang mampu untuk mengerjakan pekerjaannya, tetapi ia malas atau kurang bergairah mengerjakannya.
3. Untuk memelihara dan atau meningkatkan kegairahan kerja bawahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
4. Untuk memberikan penghargaan dan kepuasan kerja kepada bawahannya.

Tingkah laku seseorang dipengaruhi serta dirangsang oleh keinginan, kebutuhan, tujuan dan kepuasannya. Rangsangan timbul dari diri sendiri (internal) dan dari luar (eksternal = lingkungan) nya.
Rangsangan (materiil & non materiil) ini akan menciptakan ”motif dan motivasi” yang mendorong orang bekerja (beraktivitas) untuk memperoleh kebutuhan dan kepuasan dari hasil kerjanya.
Motif menurut Bernard Berelson dan Gray A. Steiner dalam bukunya Malayu S.P. Hasibuan (2007:141) adalah suatu pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan secara langsung atau mengarah kepada sasaran akhir.
Motivasi hanya dapat diberikan kepada ”orang-orang yang mampu” untuk mengerjakan pekerjaan tersebut; bagi orang-orang yang tidak mampu mengerjakan pekerjaan tersebut tidak perlu dimotivasi karena percuma. Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:141) Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan.
Tujuan Pemberian Motivasi menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:146) adalah :
1. Mendorong gairah dan semangat kerja karyawan
2. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan
3. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan
4. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan karyawan perusahaan
5. Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi karyawan
6. Mengefektifkan pengadaan karyawan
7. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
8. Meningkatkan kreativitasdan partisipasi karyawan
9. Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan
10. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya
11. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku
12. Dan lain sebagainya

Asas-Asas Motivasi menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:146) :
1. Asas Mengikutsertakan, artinya mengajak bawahan untuk ikut berpartisipasi dan memberikan kesempatan kepada mereka mengajukan pendapat, rekomendasi dalam proses pengambilan keputusan.
2. Asas Komunikasi, artinya menginformasikan secara jelas tentang tujuan yang ingin dicapai, cara-cara mengerjakannya dan kendala-kendala yang dihadapi.
3. Asas Pengakuan, artinya memberikan penghargaan, pujian dan pengakuan yang tepat serta wajar kepada bawahan atas prestasi kerja yang dicapainya.
4. Asas Wewenang yang di delegasikan, artinya memberikan kewenangan dan kreativitasnya ia mampu mengerjakan tugas-tugas itu dengan baik. Misalnya : ini tugas anda dan saya berharap anda mampu mengerjakannya.
5. Asas Adil dan Layak, artinya alat dan jenis motivasi yang diberikan harus berdasarkan atas” keadilan dan kelayakan” terhadap semua karyawan. Misalnya pemberian hadiah atau hukuman terhadap semua karyawan harus adil dan layak kalau masalahnya sama.
6. Asas Perhatian Timbal Balik, artinya bawahan yang berhasil mencapai tujuan dengan baik, maka pimpinan harus bersedia memberikan alat dan jenis motivasi. Tegasnya kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Alat-Alat Motivasi menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:149) yaitu :
1. Materiil Insentif : alat motivasi yang diberikan itu berupa uang dan atau barang yang mempunyai nilai pasar; jadi memberikan kebutuhan ekonomis. Misalnya : kendaraan, rumah dan lain-lainnya.
2. Nonmateriil Insentif : alat motivasi yang diberikan itu berupa barang/benda yang tidak ternilai; jadi hanya memberikan kepuasan/kebanggaan rohani saja. Misalnya : medali, piagam, bintang jasa dan lain-lainnya.
3. Kombinasi Materiil dan Non materiil Insentif : alat motivasi yang diberikan itu berupa materiil (uang dan barang) dan non materiil (medali dan piagam), jadi memenuhi kebutuhan ekonomis dan kepuasan/kebanggan rohani.

Adalah penting bagi seorang pemimpin untuk mengetahui bagaimana cara memotivasi karyawannya. MM Feinberg (2000) menjabarkan beberapa tindakan yang tidak memotivasi orang lain :
1. Meremehkan bawahan. Tindakan ini bisa membunuh rasa percaya diri dan inisiatif karyawan.
2. Mengkritik karyawan di depan karyawan lain. Tindakan ini pun bisa merusak hubungan yang sudah terbina dengan baik.
3. Memberi perhatian setengah-setengah atau tidak memperhatikan karyawan. Kalau seorang pemimpin tidak memperdulikan karyawannya, maka rasa percaya dirinya akan luntur.
4. Memperhatikan diri sendiri. Pemimpin yang seperti ini dianggap egois dan hanya memanipulasi karyawan untuk kepentingannya sendiri.
5. Menganak emaskan seorang karyawan. Tindakan ini sebaiknya juga tidak dilakukan, karena bisa merusak moral karyawan lain.
6. Tidak mendorong karyawan untuk berkembang. Kalau karyawan merasa bahwa bos juga ikut berjuang bersama, mereka akan sangat termotivasi. Informasikan kesempatan yang ada dan jangan pernah mengekang minat para karyawan.
7. Tidak memperdulikan hal-hal kecil. Apa yang nampaknya kecil bagi anda, mungkin saja sangat penting untuk karyawan.
8. Merendahkan karyawan yang kurang terampil. Seorang pemimpin memang wajib menolerir ketidak mampuan karyawannya, namun harus hati-hati dalam menangani permasalahan yang ditimbulkan agar tidak sampai mempermalukan karyawannya.
9. Ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Atasan yang ragu-ragu mengakibatkan kebimbangan di seluruh organisasi.

Dalam bukunya, Malayu S.P. Hasibuan (2007:150) mengklasifikasikan motivasi dibagi dalam dua jenis :
1. Motivasi Positif, manajer memotivasi bawahannya dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi baik. Dengan motivasi positif ini semangat kerja bawahan akan meningkat, karena manusia pada umumnya senang menerima yang baik –baik saja.
2. Motivasi Negatif, manajer memotivasi bawahannya dengan memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjaannya kurang baik (prestasi rendah). Dengan memotivasi negatif ini semangat kerja bawahan dalam jangka waktu pendek akan meningkat karena mereka takut di hukum tetapi untuk jangka waktu panjang dapat berakhir kurang baik.

Dalam praktek kedua jenis motivasi di atas sering digunakan oleh manajer suatu perusahaan. Pengunaannya harus tepat dan seimbang, supaya dapat meningkatkan semangat kerja karyawan. Yang menjadi masalah ialah: kapan motivasi positif atau motivasi negatif itu, efektif merangsang gairah kerja karyawan?. Motivasi positif efektif untuk jangka panjang, sedang motivasi negatif efektif untuk jangka pendek saja. Tetapi manajer harus konsisten dan adil dalam menerapkannya.
Motivasi gairah bekerja seseorang akan meningkat, jika kepada mereka diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya. Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:149) Metode-metode motivasi dapat dibagi menjadi :
1. Metode Langsung (Direct Motivation)
Adalah motivasi (materiil & nonmataeriil) yang diberikan secara langsung kepada setiap individu karyawan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasannya. Jadi sifatnya khusus seperti memberikan pujian, penghargaan, bonus, piagam dan lain sebagainya.


2. Motivasi Tidak Langsung (Indirect Motivation)
Adalah motivasi yang diberikan hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah kerja/kelancaran tugas, sehingga para karyawan betah dan bersemangat melakukan pekerjaannya. Misalnya kursi yang empuk, mesin-mesin yang baik, ruangan kerja terang dan nyaman, suasana dan lingkungan pekerjaan yang baik, penempatan karyawan yang tepat dan lain-lainnya.
Motivasi kerja tidak langsung ini besar pengaruhnya untuk merangsang semangat bekerja karyawan, sehingga produktivitas kerja meningkat.

Memotivasi seseorang itu sangat sulit, karena pimpinan sulit untuk mengetahui kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) yang diperlukan bawahan dari hasil pekerjaannya itu. Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:150) ada enam tahapan dalam proses motivasi yaitu :
1. Tujuan
Dalam proses memotivasi perlu ditetapkan terlebih dahulu tujuan organisasi, baru kemudian para bawahan dimotivasi ke arah tujuan tersebut.
2. Mengetahui Kepentingan
Dalam proses motivasi penting mengetahui kebutuhan/keinginan karyawan dan tidak hanya melihatnya dari sudut kepentingan pimpinan dan perusahaan saja.
3. Komunikasi Efektif
Dalam proses motivasi harus dilakukan komunikasi yang baik dan efektif dengan bawahan. Bawahan harus mengetahui apa yang akan diperolehnya dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhinya supaya insentif itu diperolehnya.
4. Integrasi Tujuan
Dalam proses motivasi perlu untuk menyatukan tujuan perusahaan dan tujuan kepentingan karyawan. Tujuan perusahaan adalah needs complex, yaitu untuk memperoleh laba, perluasan perusahaan, sedangkan tujuan individu karyawan adalah pemenuhan kebutuhan dan kepuasan. Jadi tujuan organisasi/perusahaan dan tujuan karyawan harus disatukan dan untuk ini penting adanya persesuaian motivasi.
5. Fasilitas
Manajer dalam memotivasi harus memberikan fasilitas kepada perusahaan dan individu karyawan yang akan mendukung kelancaran pelaksanaan pekerjaan, misalnya memberikan bantuan kendaaan kepada salesman.
6. Team work
Manajer harus menciptakan team work yang terkoordinasi baik yang bisa mencapai tujuan perusahaan. Team work (kerja sama) ini penting karena dalam suatu perusahaan biasanya terdapat banyak bagian.

Walaupun setiap individu karyawan mempunyai keinginan yang berbeda-beda, tetapi ada kesamaan dalam kebutuhan (needs) nya, yaitu setiap manusia ingin hidup dan untuk hidup perlu makan dan manusia normal mempunyai harga diri. Jadi setiap manusia/karyawan mengharapkan kompensasi dari prestasi yang diberikannya serta ingin memperoleh pujian, perlakuan yang baik dari atasannya.
Dari apa yang telah diuraikan diatas , menurut Malayu S.P Hasibuan (2007:141) secara garis besar dapat diketahui kendala- kendala dalam memotivasi karyawan yaitu :
1. Untuk menentukan alat motivasi yang paling tepat, sulit karena keinginan setiap individu karyawan tidak sama.
2. Kemampuan perusahaan terbatas dalam menyediakan fasilitas dan insentif.
3. Manajer sulit mengetahui motivasi kerja setiap individu karyawan.
4. Manajer sulit memberikan insentif yang adil dan layak.

2.3. Kinerja Karyawan
Kinerja merupakan aspek penting dalam upaya pencapaian suatu tujuan. Pencapaian tujuan yang maksimal merupakan buah dari kinerja tim atau individu yang baik, begitu pula sebaliknya kegagalan dalam mencapai sasaran yang telah dirumuskan juga merupakan akibat dari kinerja individu atau tim yang tidak optimal. Cukup banyak batasan yang dikemukakan oleh para ahli terkait dengan kinerja.
Menurut Indrawan W.S (2001:453) dalam kamus lengkap bahasa indonesia, kinerja berasal dari kata dasar ”kerja” yang diberi arti sebagai aktivitas untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari nafkah, mata pencaharian.
Menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2007:9) bahwa kineja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu disimpulkan bahwa kinerja SDM adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh karyawan. Selain itu kinerja karyawan adalah hal yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran ditempat kerja, dan sikap kooperatif.
Tolak ukur bagi suatu perbandingan antara apa yang telah dilakukan dengan apa yang diharapkan atau ditargetkan sesuai dengan pekerjaan atau jabatan yang telah dipercayakan kepada seseorang merupakan standar kinerja. Standar kinerja dapat pula dijadikan bagai pertanggung jawaban terhadap apa yang telah dilakukan. Standar kerja untuk masing-masing orang mempunyai perbedaan sesuai jenis pekerjaan, organisasi atau profesi. Standar kinerja merujuk pada tujuan organisasi yang telah dijabarkan ke dalam tugas-tugas fungsional. Standar kinerja karyawan akan berbeda dengan standar kinerja guru, seniman atau pekerja lainnya karena masing-masing memiliki spesifikasi tugas atau pekerjaan yang berbeda.
Menurut Malayu S.P Hasibuan dalam buku Evaluasi Kinerja SDM, A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2007:17) mengemukakan bahwa aspek-aspek yang dinilai kinerja mencakup sebagai berikut :
1. Kesetiaan,
2. Hasil kerja,
3. Kejujuran,
4. Kedisiplinan,
5. Kreativitas,
6. Kerjasama,
7. Kepemimpinan,
8. Kepribadian,
9. Prakarsa,
10. Kecakapan,
11. Tanggung jawab.
Adapun aspek-aspek standar pekerjaan terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi :
1. Proses kerja dan kondisi pekerjaan,
2. Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan,
3. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, dan
4. Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.
Sedangkan aspek kualitatif meliputi :
1. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan,
2. Tingkat kemampuan dalam bekerja,
3. Kemampuan menganalisis data atau informasi, kemampuan atau kegagalan menggunakan mesin atau peralatan, dan
4. Kemampuan mengevaluasi (keluhan atau keberatan konsumen).
Bila sebuah perusahaan ingin melaksanakan program penilaian kinerja walaupun dalam skala terbatas, sebaiknya mulailah mencoba untuk menjawab dulu pertanyaan dibawah ini :
1. Apa sebenarnya tujuan dari penerapan penilaian kinerja? Apa yang ingin diperoleh perusahaan ?
2. Apakah pimpinan puncak dan seluruh jajaran manajemen sudah mendukung penuh dan seluruh karyawan telah siap mental untuk melaksanakan program penilaian kinerja?
3. Bila memang ada komitmen dan dukungan dari semua jajaran manajemen, apakah target kinerja perusahaan secara keseluruhan yang ingin dicapai sudah ditetapkan, diketahui dan mungkin disepakati oleh mereka yang terkena?
4. Apakah karyawan sudah dibekali dengan semua pengetahuan dan ketrampilan yang mereka perlukan?
5. Bagaimana penilaian akan dilakukan ? Apa atau apanya yang akan dinilai?
6. Siapa menilai siapa ?.

Apabila semua pertanyaan tersebut diatas telah disepakati jawabannya oleh semua pembuat keputusan, terutama oleh pimpinan puncak organisasi dan fungsionaris unit sumber daya manusia, maka organisasi anda dapat mulai dengan langkah-langkah berikutnya.
Menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2007:22) menjelaskan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja, paling tidak terdapat tujuh langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut :
I. Mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja.
Dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu :
a. Mengidentifikasikan masalah melalui data dan informasi yang dikumpulkan terus-menerus mengenai fungsi-fungsi bisnis.
b. Mengidentifikasikan masalah melalui karyawan.
c. Memperhatikan masalah yang ada.
II. Mengenai kekurangan dan tingkat keseriusan
Untuk memperbaiki keadaan tersebut, diperlukan beberapa informasi, antara lain :
a. Mengidentifikasi masalah setepat mungkin.
b. Menentukan tingkat keseriusan masalah dengan mempertimbangkan :
1. Harga yang harus dibayar bila tidak ada kegiatan.
2. Harga yang harus dibayar bila ada campur tangan dan penghematan yang diperoleh apabila ada penutupan kekurangan kinerja.
III. Mengidentifikasikan hal-hal yang mungkin menjadi penyebab
kekurangan, baik yang berhubungan dengan sistem maupun yang berhubungan dengan pegawai itu sendiri.
IV. Mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab kekurangan tersebut.
V. Melakukan rencana tindakan tersebut.
VI. Melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum.
VII. Mulai dari awal, apabila perlu.
Menurut Malayu S.P Hasibuan dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia (2007:93):
A. Dasar Penilaian.
Dasar penilai adalah uraian pekerjaan dari setiap individu karyawan karena dalam uraian pekerjaan inilah ditetapkan tugas dan tanggung jawab yang akan dilakukan oleh setiap karyawan.
Penilai menilai pelaksanaan uraian pekerjaan itu apa baik atau buruk, apa selesai atau tidak dan apa dikerjakan secara efektif atau tidak. Tolok ukur yang akan dipergunakan untuk mengukur prestasi kerja karyawan adalah standar. Secara umum standar berarti apa yang akan dicapai sebagai ukuran untuk penilaian. Secara garis besar standar dibedakan atas dua :
1. Tangible standard
2. Intangible standard
Tangible standard yaitu sasaran yang dapat ditetapkan alat ukurnya atau standarnya. Standar ini dibagi atas :
a. Standar dalam bentuk fisik yang terbagi atas : standar kuantitas, standar kualitas dan standar waktu. Misalnya : kilogram, meter, baik-buruk, jam, hari dan bulan.
b. Standar dalam bentuk uang yang terbagi atas standar biaya, standar penghasilkan dan standar investasi.
Intangible standard adalah sasaran yang tidak dapat ditetapkan alat ukur atau standarnya. Misalnya : standar perilaku, kesetiaan, partisipasi, loyalitas, serta dedikasi karyawan terhadap perusahaan.
B. Unsur-unsur yang dinilai
1) Kesetiaan
Penilai mengukur kesetiaan karyawan terhadap pekerjaannya, jabatannya dan organisasi. Kesetiaan ini dicerminkan oleh kesediaan karyawan menjaga dan membela organisasi di dalam maupun di luar pekerjaan dari rongrongan orang yang tidak bertanggung jawab.


2) Prestasi kerja
Penilai menilai hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dapat dihasilkan karyawan tersebut dari uraian pekerjaannya.
3) Kejujuran
Penilai menilai kejujuran dalam melaksanakan tugas-tugasnya memenuhi perjanjian baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain seperti kepada para bawahannya.
4) Kedisiplinan
Penilai menilai disiplin karyawan dalam mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan melakukan pekerjaannya sesuai dengan instruksi yang diberikan kepadanya.
5) Kreativitas
Penilai menilai kemampuan karyawan dalam mengembangkan kreativitasnya untuk menyelesaikan pekerjaannya, sehingga bekerja lebih berdaya guna dan berhasil guna.
6) Kerja sama
Penilai menilai kesediaan karyawan berpatisipasi dan bekerja sama dengan karyawan lainnya secara vertikal atau horizontal di dalam pekerjaan sehingga hasil pekerjaan akan semakin baik.
7) Kepemimpinan
Penilai menilai kemampuan untuk memimpin, berpengaruh, mempunyai pribadi yang kuat, dihormati, berwibawa dan dapat memotivasi orang lain atau bawahannya untuk bekerja secara efektif.
8) Kepribadian
Penilai menilai karyawan dari sikap perilaku, kesopanan, periang, disukai, memberi kesan menyenangkan, memperlihatkan sikap yang baik, serta berpenampilan simpatik dan wajar.
9) Prakarsa
Penilai menilai kemampuan berpikir yang orisinal dan berdasarkan inisiatif sendiri untuk menganalisis, menilai, menciptakan, memberikan alasan, mendapatkan kesimpulan dan membuat keputusan penyelesaian masalah yang dihadapinya.
10) Kecakapan
Penilai menilai kecakapan karyawan dalam menyatukan dan menyelaskan bermacam-macam elemen yang semuanya terlibat di dalam penyusunan kebijaksanaan dan di dalam situasi manajemen.
11) Tanggung jawab
Penilai menilai kesediaan karyawan dalam mempertanggung jawabkan kebijaksanaannya, pekerjaan dan hasil kerjanya, saran dan prasarana yang dipergunakannya, serta perilaku kerjanya.

Unsur prestasi karyawan yang akan dinilai oleh setiap organisasi atau perusahaan tidak selalu sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencakup hal-hal diatas.
Adapun sistem atau metode penilaian terhadap kinerja karyawan diklasifikasikan oleh John Soeprihanto (2001:35) ke dalam tiga metode sebagai berikut :
1. Metode penilaian tipe obyektif
Pihak penilai akan memasukkan data hasil kerja karyawan untuk mengukur kinerjanya. Kelemahan metode ini adalah dalam aspek teknis atau operasional pada masing-masing bidang kegiatan organisasi, sehingga metode ini tidak dapat diterapkan secara mutlak dan teoritis.
2. Metode penilaian tipe subyektif
Pendekatan praktis dan subyektif dipandang cukup relevan bagi pihak penilai dalam melaksanakan penilaian kinerja karyawan. Sebagai upaya untuk menghindari terjadinya penilaian yang absolut maka digunakan daftar skala terhadap aspek-aspek yang perlu dinilai dari setiap karyawan, dan kemudian diperbandingkan antar karyawan sehingga diperoleh hasil yang bersifat relatif.
3. Metode penilaian berorientasi masa lalu
Metode ini merupakan sistem penilaian yang berorientasi pada masa lalu yang dipandang memiliki kelebihan dalam memberikan umpan balik atas penilaian kinerja karyawan yang telah terjadi pada suatu tahap tertentu.
Adapun tehnik yang sering dipakai dalam metode ini, sebagai berikut :
a. Skala Penilaian (Rating Scale)
Tehnik ini memberikan evaluasi yang subyektif terhadap kinerja individu dengan skala pengurutan. Kelebihan metode ini adalah biaya yang murah, mudah dikembangkan dan dilaksanakan, serta para penilai tidak membutuhkan waktu lama untuk mengisi formulir. Kelemahannya adalah sering terjadinya kesulitan dalam menentukan kriteria spesifik yang dapat mencakup dengan berbagai jenis tugas.
b. Daftar Periksa (Checklist)
Tehnik ini menggambarkan kinerja dan karakteristik karyawan berdasarkan pemberian bobot tertentu pada setiap perihal yang terkait. Keunggulan tehnik ini adalah biaya murah, tidak perlu banyak pelatihan dan terstandarisasi. Sementara kelemahannya adalah kecenderungan untuk bias oleh karena pemakaian kriteria kepribadian, salah interpretasi perihal pada daftar, serta pemakaian bobot penilaian yang tidak relatif.
c. Tehnik kejadian kritis (Critical Incident Technique)
Tehnik ini menggambarkan berbagai pernyataan atas perilaku karyawan yang berhubungan dengan kinerja mereka. Pernyataan dicatat selama periode evaluasi dan kemudian akan dikategorikan ke dalam aspek-aspek tertentu, seperti pengendalian, kecenderungan terjadinya pertengkaran dan pengembangan karyawan.


d. Tehnik catatan prestasi (Field Review Technique)
Tehnik ini mencatat berbagai prestasi karyawan yang meliputi aspek publikasi, peran kepemimpinan, serta rincian sumbangsih karyawan terhadap organisasi selama suatu periode masa kerja. Laporan digunakan untuk penentuan gaji, promosi, dan karir karyawan dalam organisasi. Pelaksanaan tehnik ini harus melibatkan divisi personalia yang bertindak selaku pihak ketiga yang bertugas menjaga obyektivitas dari penilaian.

Pelaksanaan penilaian kinerja tidak mungkin diadakan dalam jangka waktu relatif pendek. Oleh karena pihak yang menilai perlu secara obyektif mengetahui dan mengenal karyawan yang dinilai dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan demikian maka pada umumnya waktu yang ditentukan adalah 6 bulan sampai dengan 1 tahun secara berkesinambungan.

2.4. Kerangka Pemikiran
Variabel kepemimpinan (X1), variabel motivasi (X2), dan variabel kinerja karyawan (Y) akan diukur oleh indikator yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan atas dasar kerangka teori yang telah dikemukakan.



Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Kepemimpinan (X1)

1. Integritas, Kompetensi
2. Inisiatif, Kreatif
3. Bijaksana, Kooperatif dan Informatif
4. Tegas, Disiplin
Variabel Motivasi (X2)

1. Eksistensi, Afiliasi
2. Kesempatan berkembang, Aktualisasi
3. Upah / Kompensasi
4. Loyalitas
5. Lingkungan kerja, Komunikasi

Variabel Kinerja Karyawan (Y)
1. Prestasi Kerja
2. Tanggung jawab, Disiplin
3. Loyalitas, Komitmen
4. Kepribadian
5. Inisiatif



Otoritas dan Tanggung Jawab





6. Efektifitas dan Efisien
7.
8.
9.
10.









Kompensasi, Lingkungan Kerja, dan Motivasi Berprestasi Karyawan


TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori
2.1.1. Motivasi Berprestasi
2.1.1.1. Pengertian Motivasi
Suasana bathin atau psikologis seorang anggota sebagai individu dalam masyarakat organisasi atau perusahaan yang menjadi lingkungan kerjanya sangat besar pengaruhnya pada pelaksanaan pekerjaan. Suasana bathin terlihat dalam semangat atau gairah yang menghasilkan kegiatan kerja sebagai kontribusi bagi pencapaian tujuan atau sasaran orgnisasi ditempatnya bekerja.
Motivasi dapat ditafsirkan dan diartikan berbeda-beda oleh setiap orang sesuai tempat dan keadaan daripada masing-masing orang itu. Salah satu diantara penggunaan istilah dan konsep motivasi ini adalah untuk menggambarkan hubungan antara harapan dengan tujuan. Setiap orang dan organisasi ingin dapat mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dalam kegiatan-kegiatannya.
Kegiatan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan pekerjaan, senantiasa didasari dan diarahkan oleh kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dengan kata lain, kebutuhan itu mendorong manusia melakukan kegiatan tertentu dalam usaha memenuhi kegiatan tersebut. Energi atau tenaga yang mendorong individu melakukan kegiatan didalam usaha memenuhi kebutuhan ini lazimnya disebut motivasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Hadari Nawawi (2005:351) bahwa motivasi berasal dari kata dasar motif yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, yang berlangsung secara sadar.
Sedangkan menurut Stephen P. Robbins (2001:166) mendefinisikan motivasi sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual. Kebutuhan dalam peristilahan kita, berarti suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil-hasil tertentu tampak menarik. Suatu kebutuhan yang tak terpuaskan menciptakan tegangan yang merangsang dorongan-dorongan didalam diri individu itu. Dorongan ini menimbulkan suatu perilaku pencarian untuk menemukan tujuan-tujuan tertentu yang jika tercapai akan memenuhi kebutuhan itu dan mendorong ke pengurangan tegangan.
Motivasi merupakan sesuatu yang mendorong seseorang bertindak atau berperilaku tertentu. Motivasi membuat seseorang memulai, melaksanakan dan mempertahankan kegiatan tertentu (Mamduh M. Hanafi; 2003:306). Motivasi merupakan faktor penting yang mendukung prestasi kerja. Meskipun demikian motivasi bukanlah satu-satunya pendukung prestasi kerja. Prestasi kerja seseorang tergantung dari faktor lain yaitu kemampuan (ability) dan persepsi peranan (role perception). Kemampuan yang baik, persepsi peranan yang tepat, dan motivasi yang tinggi merupakan kunci prestasi kerja.
Motivation is a complex subject. It involves the unique feellings, thoughts, and past experiencies of each of us we share a variety of relationship within and outside organizations. To expect a single motivational approach to work in every situation is probably unrealistc. (William B. Werther and Keith Davis, 1996:500).

(Motivasi adalah suatu permasalahan yang kompleks. Karena didalamnya menyangkut hal-hal yang meliputi perasaan, pikiran dan pengalaman dari masing-masing individu, yang dipengaruhi hubungan baik dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi. Oleh karenanya memberikan pendekatan motivasi secara individual untuk bekerja di setiap situasi tidaklah realistis).
Pemahaman mengenai motivasi bukanlah hal yang mudah. Motivasi merupakan sesuatu yang ada dalam diri seseorang dan tidak nampak dari luar. Motivasi akan kelihatan melalui perilaku seseorang yang dapat dilihat. Oleh karena itu kebutuhan yang tidak terpuaskan dari seseorang mengakibatkan suatu situasi yang tidak menyenangkan. Situasi yang tidak menyenangkan tersebut mendorong seseorang untuk memenuhinya yang kemudian akan menimbulkan suatu tujuan dimana untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tindakan. Selanjutnya, proses motivasi itu sendiri tidak terlihat secara langsung dari seseorang, yang terlihat adalah perilakunya terhadap sesuatu sehingga untuk melihat motivasi, dapat dilihat dari tingkat usaha yang dilakukan seseorang. Semakin tinggi tingkat usaha yang diberikan seseorang terhadap suatu kegiatan, dapat dikatakan semakin termotivasi orang tersebut.
Menurut James L. Gibson and James H. Donnelly, Jr (1997:340) terjemahan oleh Zuhad Ichyaudin menjelaskan bahwa motivasi didefinisikan sebagai semua kondisi yang memberi dorongan dari dalam diri seseorang yang digambarkan sebagai keinginan, kemauan, dorongan dan sebagainya.
Seseorang yang termotivasi akan :
a. Bekerja keras,
b. Mempertahankan langkah kerja keras,
c. Memiliki perilaku yang dikendalikan sendiri kearah sasaran-sasaran penting.
Sedangkan Marihot T.E. Hariandja (2007:321) menjelaskan bahwa motivasi sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah.
Menurut para pakar dan manajemen praktis, studi mengenai motivasi dan kinerja karyawan sekarang ini sangat relevan karena banyaknya orang yang merasakan akibat rendahnya tingkat motivasi dan kinerja karyawan dibandingkan masa lalu tidak semua pekerja yang bermotivasi tinggi dan tidak semua pekerja yang bermotivasi akan merasa puas.
Berikut ini akan dijabarkan mengenai teori motivasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
a) Teori Kebutuhan (Needs) oleh Abraham Maslow (Stephen P. Robbins, 2001:167 terjemahan Hadyana Pujaatmaka)
Teori motivasi yang paling dikenal baik adalah hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow, yang menghipotesiskan bahwa didalam diri semua manusia ada lima jenjang kebutuhan :
1) Faali (Kebutuhan Fisiologis / Physiological Needs), kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan diri sebagai makhluk fisik. Kebutuhan tersebut antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks, dan kebutuhan ragawi lainnya.
2) Kebutuhan Keamanan (Safety Needs), kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan rasa aman dari ancaman-ancaman dari luar yang mungkin terjadi. Kebutuhan harus dilihat dalam arti luas, tidak hanya dalam arti keamanan fisik, meskipun hal ini aspek yang sangat penting akan tetapi juga keamanan yang bersifat psikologis termasuk perlakuan adil dalam pekerjaan seseorang. Kebutuhan ini diindikasikan dengan aktivitas menabung uang untuk hari tua, menginginkan pekerjaan tetap dan status yang tetap, mengasuransikan diri, dan lain-lain. Kebutuhan keamanan meliputi : keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
3) Kebutuhan Sosial (Social Needs)
Kebutuhan ini dikaitkan dengan sifat sosial manusia dan kebutuhan akan persahabatan. Tidak terpuaskannya tingkat kebutuhan ini mungkin mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Kebutuhan sosial meliputi : mencakup rasa kasih sayang, rasa dimiliki, diterima-baik, dan persahabatan.
4) Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs)
Ini adalah kebutuhan baik kesadaran akan kepentingan terhadap orang lain maupun penghargaan aktual dari orang lain. Kebutuhan ini ditandai dengan keinginan untuk mengembangkan diri, meningkatkan kemandirian, dan kebebasan. Pemuasan kebutuhan ini mengarah kepada perasaan percaya diri dan gengsi. Kebutuhan ini meliputi : mencakup faktor rasa hormat internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; dan faktor hormat eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian.
5) Kebutuhan Aktualisasi-Diri (Self-Actualization Needs)
Kebutuhan yang berhubungan dengan aktualisasi/penyaluran diri dalam arti kemampuan/minat/potensi diri dalam bentuk nyata dalam kehidupannya. Ini ditandai dengan hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginannya, kemampuannya dan potensi bakat. Jelas bahwa dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi : mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya, dan pemenuhan diri.

Kebutuhan urutan tinggi Aktualisasi-diri
Dorongan untuk menjadi
apa yang ia mampu;
pertumbuhan, potensi
dan pemenuhan diri
Penghargaan
Mencakup faktor rasa hormat
internal seperti harga diri,
otonimo, prestasi dan
Faktor hormat eksternal
seperti status, pengakuan,
dan perhatian
Kebutuhan urutan rendah Sosial
Mencakup kasih sayang,
rasa memiliki, diterima-baik,
dan persahabatan
Keamanan
Kebutuhan akan keselamatan
dan perlindungan terhadap
kerugian fisik dan emosional
Jasmani
Kebutuhan dasar
kebutuhan biologis :
Makanan, air, seks

Gambar 2.1. Hierarki Kebutuhan Maslow
(James L. Gibson 1997:345)
Tabel 2.1. Kawasan-kawasan Pengaruh Manajemen dalam 5 Kategori Hierarki Kebutuhan
Kategori Kebutuhan Kawasan Pengaruh Manajemen

Aktualisasi Diri Tantangan dalam pekerjaan
Peluang untuk maju
Kesempatan kreativitas
Motivasi kearah yang tinggi

Penghargaan Pengakuan untuk kinerja yang baik
Kegiatan pekerjaan yang penting
Jabatan pekerjaan yang terhormat
Tanggung Jawab

Sosial Peluang hubungan sosial
Stabilitas kelompok
Semangat kearah kerjasama

Keamanan Kondisi kerja yang aman
Keamanan kerja
Tunjangan kesejahteraan

Jasmani Gaji yang wajar
Kondisi kerja yang memungkinkan

(James L. Gibson 1997:347)

b) Teori X dan Teori Y
Menurut Stephen P. Robbins yang diterjemahkan Hadyana Pujaatmaka (2001:168) menjelaskan Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia; pada dasarnya satu negatif, yang ditandai sebagai Teori X, dan yang lain positif, yang ditandai sebagai Teori Y.


Menurut Teori X, empat pengandaian yang dipegang para manajer adalah sebagai berikut :
a. Karyawan secara inheren (tertanam dalam dirinya) tidak menyukai kerja dan bilamana dimungkinkan, akan mencoba menghindarinya,
b. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, dan diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan,
c. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bilamana dimungkinkan,
d. Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua faktor lain yang dikaitkan dengan kerja dan akan menunjukkan sedikit saja ambisi.
Teori Y, empat pengandaian positif sebagai berikut :
a. Karyawan dapat memandang kerja sama dengan sewajarnya seperti istirahat atau bermain,
b. Orang-orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka komit pada sasaran,
c. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan, tanggung jawab,
d. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif (pembaruan) tersebar luas dalam populasi dan tidak hanya milik dari mereka yang berada dalam posisi manajemen.

c) Teori Motivasi - Hygiene
Teori Motivasi-Higiene dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg. Teori Motivasi-Higiene dimana teori yang menjelaskan faktor-faktor instrinsik dihubungkan dengan kepuasan kerja, sementara faktor-faktor ekstrinsik dikaitkan dengan ketidakpuasan (Stephen P. Robbins, 2001:169).




Ada satisfiers Tidak ada satisfiers
Ada Kepuasan Kerja Tidak ada kepuasan kerja
Motivasi terdorong Tidak ada motivasi



Faktor Motivasi :
Prestasi kerja
Pengakuan
Kerja itu sendiri
Tanggung Jawab
Promosi dan pengembangan kerja



Tidak ada dissatisfier Ada Dissatisfiers
Suasana kerja menyenangkan Suasana Kerja tidak
tetapi motivasi tidak terdorong Menyenangkan

Faktor Higiene :
Kebijakan dan Administrasi perusahaan
Pengawasan
Kondisi Kerja (yang kurang)
Hubungan Internasional dengan teman kerja (yang kurang)
Gaji dan Keamanan (yang kurang)
Kehidupan pribadi (yang kurang)




Gambar 2.2. Teori Motivasi-Higiene
(Mamduh Hanafi, 2003:313)





Didasarkan pada penelitian tersebut, Herzberg mencapai dua kesimpulan:
1) Kondisi dari pekerjaan menyebabkan ketidakpuasan bila kondisi tersebut tidak membentuk motivasi yang kuat. Faktor tersebut disebut Faktor Pemeliharaan.
1. Kebijakan Perusahaan dan administrasi,
2. Pengawasan teknik,
3. Hubungan interpersonal dengan teman kerja,
4. Gaji,
5. Keamanan Kerja,
6. Kehidupan pribadi,
7. Kondisi kerja,
8. Status.
2) Kondisi kerja membentuk tingkat motivasi dan kepuasan kerja. Enam faktor motivasi :
1. Pencapaian,
2. Pengakuan,
3. Kemajuan,
4. Pekerjaan itu sendiri,
5. Tanggung Jawab,
6. Promosi dan pengembangan kerja.



d) Teori ERG
Teori ini dikemukakan oleh Clayton Alderfer, mengemukakan dorongan motivasi timbul dari tiga macam kebutuhan yang dikenal dengan ERG yaitu :
a) Existence,
b) Relatedness,
c) Growth.
Existence Berhubungan dengan kebutuhan untuk mempertahankan keberadaan seseorang dalam hidupnya. Dikaitkan dengan penggolongan dari Maslow, ini berkaitan dengan kebutuhan Fisik dan Keamanan.
Relatedness Berhubungan dengan kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Dikaitkan dengan penggolongan kebutuhan dari Maslow, ini meliputi kebutuhan sosial dan pengakuan.
Growth Berhubungan dengan kebutuhan pengembangan diri, yang identik dengan kebutuhan self-actualization.
(Marihot T.E. Hariandja, 2007:332)
e) Teori Kebutuhan McClelland
Menurut Stephen P. Robbins (2001:173) Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland, dimana teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan : Prestasi (achievement), Kekuasaan (power), dan afiliasi (pertalian).
1) Kebutuhan akan Prestasi (Need for Achievement) : Dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar (memikul tanggung jawab dalam bekerja), bergulat untuk sukses.
2) Kebutuhan akan Kekuasaan (Need for Power) : Kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu tidak akan berperilaku demikian.
3) Kebutuhan akan Afiliasi (Need for Afiliation) : Hasrat untuk hubungan antar-pribadi yang ramah dan akrab.










Gambar 2.3. Memasangkan Peraih Prestasi dan Pekerjaan
(Stephen P. Robbins 2001:175)

f) Teori Evaluasi Kognitif
Teori evaluasi kognitif menjelaskan membagi ganjaran-ganjaran ekstrinsik untuk perilaku yang sebelumnya secara instrinsik telah diberi hadiah, cenderung mengurangi tingkat motivasi keseluruhan.

g) Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)
Teori ini mengasumsikan manusia sebagai individu yang berpikir (thinking individual) yang berusaha mencapai tujuan tertentu. Teori ini memfokuskan pada proses penetapan tujuan itu sendiri.
h) Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori ini berpendapat bahwa faktor yang memotivasi seseorang dalam melakukan pekerjaan adalah reward yang akan diterima dari pelaksanaan suatu pekerjaan. Proses Penguatan (Reinforcement) digambarkan sebagai berikut :





Gambar 2.4. Proses Penguatan (Reinforcement)
(Mamduh Hanafi 2003:319)









Tabel 2.2. Ringkasan Model Motivasi Reinforcement

Jenis Perlakuan (Reinforcement)
1 Perlakuan Positif 3 Hukuman
Memperkuat Perilaku dengan Memperlemah perilaku dengan
memberikan Konsekuensi yang memberikan konsekuensi yang
menyenangkan tidak menyenagkan

2 Penghindaran 4 Pemadaman
Memperkuat dengan menghindari Memperlemah perilaku dengan
konsekuensi yang tidak tidak memberikan konsekuensi
menyenangkan yang menyenangkan
Skedul Waktu Pemberian Perlakuan
1 Interval Tetap 3 Rasio Tetap
Perlakuan diberikan dengan Perlakuan diberikan sesudah
jangka waktu yang tetap, tanpa frekuensi tertentu yang tetap,
tanpa melihat frekuensi perilaku tanpa melihat waktu

2 Interval Variabel 4 Rasio Variabel
Perlakuan diberikan dengan Perlakuan diberikan berdasarkan
jangka waktu yang berubah frekuensi perilaku tertentu secara
tanpa melihat frekuensi perilaku berubah-ubah
(Mamduh Hanafi 2003:321)

i) Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori keadilan mengemukakan bahwa ketidakadilan yang dirasakan merupakan suatu kekuatan motivasi. Teori ini mengatakan bahwa motivasi, prestasi dan kepuasan kerja merupakan fungsi persepsi keadilan yang dirasakan oleh karyawan terhadap balasan yang diterimanya.




j) Teori Pengharapan (Expectancy Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang mengatakan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :
a. Hubungan tingkat usaha dengan tingkat tampilan kerja (performance),
b. Hubungan antara tampilan kerja dan suatu outcome/reward,
c. Nilai yang diberikan seseorang terhadap reward yang akan didapat oleh seseorang dari pekerjaannya.











Gambar 2.5. Teori Motivasi Pengharapan Vroom
(Mamduh Hanafi 2003:315)

Salah satu model teori pengharapan yang lain adalah Model Porter-Lawler. Model ini menjelaskan bahwa kepuasan kerja akan mendorong prestasi, prestasi menghasilkan dua macam balasan yaitu : (1) Intrinsik balasan dari internal kerja itu seperti pengakuan, atau kepuasan mencapai prestasi tertentu, (2) Ekstrinsik seperti gaji dan promosi.


2.1.1.2. Motivasi Berprestasi
Berdasarkan uraian mengenai motivasi diatas, maka motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu tindakan yang didasari oleh adanya dorongan suatu kebutuhan yang harus terpenuhi, baik kebutuhan fisik maupun non fisik, sedangkan prestasi kerja adalah hasil kerja nyata karyawan dengan standar kualitas.
Motivasi berprestasi menurut A. Prabu Mangkunegara (2007:103) dapat diartikan sebagai suatu dorongan atau keinginan dalam diri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji.
Motivasi berprestasi karyawan harus tetap dipelihara agar terjalin hubungan kerja yang selaras, harmonis yang dilandasi dengan etos kerja yang baik.
Menurut Marihot T.E. Hariandja (2007:330) motivasi berprestasi memiliki beberapa karakteristik antara lain :
1) Suka dengan pekerjaan yang tingkat kesukaran sedang,
2) Menyukai situasi dimana karyawan secara pribadi harus memecahkan masalah,
3) Selalu menginginkan umpan balik tentang seberapa baik karyawan melakukan sesuatu pekerjaan,
4) Sering berpikir bagaimana karirnya terus berkembang, dan bagaimana melakukan pekerjaan dengan lebih baik dan hasil yang maksimal,
5) Berusaha untuk mencapai sasaran organisasi dan sanggup bekerja dengan tekanan yang cukup tinggi,
6) Selalu berpikir positif dalam menghadapi tantangan dan ambisi untuk maju dalam mencapai prestasi,
7) Dapat memikul tanggung jawab, disiplin serta menghargai waktu kerja dengan sebaik-baiknya,
8) Dapat bekerjasama dan menerima pendapat orang lain.
Sebaliknya, karyawan yang memiliki motivasi berprestasi
rendah antara lain :
a) Kurang memiliki tanggung jawab pribadi dalam mengerjakan
sesuatu pekerjaan atau kegiatan,
b) Memiliki program kerja tetapi tidak didasarkan pada rencana dan tujuan yang realistis serta lemah melaksanakannya,
c) Bersikap apatis dan tidak percaya diri serta ragu-ragu dalam mengambil keputusan,
d) Tindakannya kurang terarah pada tujuan,
e) Memiliki rasa kecewa terhadap organisasi, pada diri sendiri, pada atasan serta kecewa terhadap manajemen,


Karyawan yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung memiliki prestasi yang tinggi, dan sebaliknya karyawan yang prestasi kerjanya rendah dimungkinkan karena motivasi berprestasinya rendah, hal inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara motivasi berprestasi dengan pencapaian prestasi kinerja karyawan.
Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dan sangat mempengaruhi motivasi berprestasi serta pencapaian prestasi, yaitu tingkat kecerdasan intelektual (IQ) dan kepribadian dalam menguasai emosional dalam arti pribadinya memiliki emosional. Artinya orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi bila memiliki kecerdasan yang memadai dan kepribadian yang dewasa dalam hal mengendalikan emosi, akan mampu mencapai prestasi maksimal.
Hal ini karena kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kemampuan potensi, dan kepribadian merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.






2.1.2. Kompensasi
2.1.2.1. Pengertian Kompensasi
Berikut ini akan dijabarkan beberapa definisi mengenai kompensasi menurut beberapa ahli/pakar sebagai berikut :
Employee compensation refers to all forms of pay or reward going to employees and arising from their employment, and it has two main components : direct financial payments (in the form of wages, salaries, incentives, commissions, and bonuses), and indirect payments (in the form of financial benefits like employer-paid insurance and vacations). (Gary Dessler, 2003:302)

(Kompensasi karyawan merujuk pada semua bentuk upah atau imbalan yang berlaku bagi dan muncul dari pekerjaan mereka, dan mempunyai dua komponen. Ada pembayaran langsung dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi, dan bonus. Ada pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi dan uang liburan).
Menurut Hani Handoko (1995:155) mendefinisikan kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima karyawan sebagai balas jasa atas kerja karyawan. Masalah kompensasi mungkin merupakan fungsi manajemen personalia yang membingungkan. Tidak hanya karena pemberian kompensasi merupakan salah satu tugas yang paling kompleks, tetapi juga salah satu aspek yang berarti baik bagi karyawan dan organisasi. Meskipun kompensasi harus memiliki dasar yang logik, rasional dan dapat dipertahankan, hal ini menyangkut banyak faktor emosional dari sudut pandangan karyawan.
Bila kompensasi diberikan secara benar, para karyawan akan lebih terpuaskan dan termotivasi untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi. Kompensasi penting bagi karyawan sebagai individu karena besarnya kompensasi mencerminkan ukuran nilai karya mereka diantara para karyawan itu sendiri, keluarga dan masyarakat.
Menurut Marihot T.E. Hariandja (2007:244) kompensasi adalah keseluruhan balas jasa yang diterima pegawai sebagai akibat dari pelaksanaan pekerjaan di organisasi dalam bentuk uang atau lainnya yang dapat berupa gaji, upah, bonus, insentif, dan tunjangan lainnya seperti tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, uang makan, uang cuti dan lain-lain. Program-program kompensasi juga penting bagi perusahaan, karena mencerminkan upaya organisasi untuk mempertahankan sumber daya manusia. Disamping itu, kompensasi (dalam bentuk pengupahan dan balas jasa lainnya) sering merupakan komponen-komponen biaya yang paling besar dan penting.

Compensation is what employees receive in exchange for their contribution to organization (William B. Werther & Keith Davis, 1996:379).

(Kompensasi adalah sesuatu yang diberikan kepada karyawan sebagai balas jasa atas kontribusi atau kerja karyawan terhadap organisasi atau perusahaan)
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:118) kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung maupun tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan. Kompensasi yang berbentuk uang, artinya kompensasi dibayar dengan sejumlah uang kartal kapan karyawan yang bersangkutan, sedangkan kompensasi yang berbentuk barang, artinya kompensasi yang dibayar dengan barang; misalnya kompensasi dibayar 10% dari produksi yang dihasilkan.
Hal yang sama dikemukakan oleh Basu Swastha (1998:267) bahwa kompensasi adalah imbalan jasa yang diberikan secara teratur dan dalam jumlah tertentu oleh perusahaan kepada para karyawan atas kontribusi tenaganya yang telah diberikannya untuk mencapai tujuan perusahaan.
A compensation is anything that constitutes or is regarded as an equivalent or recompense. (Andrew F. Sikula dalam buku manajemen Malayu S.P. Hasibuan, 2007: 118)

(Kompensasi adalah segala sesuatu yang dikonstitusikan atau dianggap sebagai suatu balas jasa atau ekuivalen).
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan, nampak mengandung pengertian yang hampir sama, yaitu bahwa kompensasi merupakan balas jasa yang diterimakan kepada karyawan baik berupa materi dan non materi, baik yang berhubungan langsung dengan prestasi maupun yang tidak dan dapat disimpulkan kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang atau barang langsung atau tidak langsung yg diterima karyawan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa terdapat dua pihak yang memikul kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda-beda, akan tetapi saling mempengaruhi dan menentukan. Pihak pertama adalah karyawan atau pekerja, memikul kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan yang disebut bekerja. Sedang pihak kedua adalah organisasi atau perusahaan, memikul kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan penghargaan atau ganjaran atas pelaksanaan pekerjaan oleh pihak pertama.
2.1.2.2. Tujuan Pemberian Kompensasi
Bagi perusahaan program kompensasi atau balas jasa merupakan salah satu pengeluaran atau biaya untuk penggunaan tenaga kerja. Oleh karena itu, sistem balas jasa dapat dilihat sebagai suatu sistem yang berada dalam hubungan timbal balik dalam perusahaan dan karyawan atau pekerjanya. Selain itu, perusahaan selalu mengaitkan balas jasa dengan kuantitas, kualitas dan manfaat balas jasa yang dipersembahkan oleh karyawan kepada perusahaan yang akan mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan, bahkan mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan tersebut.
When compensation managed maintain and retain a productive workforce. Without adequate compensation, current employees are likely to leave and replacements will be difficult to recruit. (William B. Werther and Keith Davis, 1996:379).

(Apabila program kompensasi diatur dengan baik, maka akan membantu perusahaan dalam mencapai tujuan dan mendapatkan, menjaga serta menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Tanpa kompensasi yang memadai, maka para pekerja akan meninggalkan perusahaan dan perusahaan akan mendapat kesulitan untuk mencari penggantinya.

Marihot T.E. Hariandja (2007:245) mengemukakan bahwa tujuan utama pemberian kompensasi tampaknya tidak perlu dipermasalahkan lagi, yaitu untuk menarik pegawai yang berkualitas, mempertahankan pegawai, memotivasi kinerja, membangun komitmen karyawan, dan satu hal yang sering kali terlupakan adalah mendorong peningkatan pengetahuan dan keterampilan karyawan dalam upaya meningkatkan kompetensi organisasi secara keseluruhan. Sehingga, kompensasi dapat juga dilihat sebagai salah satu aspek pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2007:121) menjabarkan tentang tujuan pemberian kompensasi sebagai berikut :
a) Ikatan Kerja Sama
Dengan pemberian kompensasi terjalinlah ikatan formal antara majikan dan karyawan. Karyawan harus mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, sedangkan pengusaha atau majikan wajib membayar kompensasi sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
b) Kepuasan kerja
Dengan balas jasa, karyawan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, status sosial, dan egoistiknya sehingga memperoleh kepuasan kerja dari jabatannya.
c) Pengadaan Efektif
Jika program kompensasi ditetapkan cukup besar, pengadaan karyawan yang qualified untuk perusahaan akan lebih mudah.
d) Motivasi
Jika balas jasa yang diberikan cukup besar, manajer akan mudah memotivasi bawahannya.
e) Stabilitas Karyawan
Dengan program kompensasi atas prinsip adil dan layak serta eksternal konsistensi yang kompentatif maka stabilitas karyawan lebih terjamin karena turnover relatif kecil.
f) Disiplin
Dengan pemberian balas jasa yang cukup besar maka disiplin karyawan semakin baik. Mereka akan menyadari serta mentaati peraturan-peraturan yang berlaku.
g) Pengaruh Serikat Buruh
Dengan program kompensasi yang baik, pengaruh serikat buruh dapat dihindarkan dan karyawan akan berkonsentrasi pada pekerjaannya.
h) Pengaruh Pemerintah
Jika program kompensasi sesuai undang-undang perburuhan yang berlaku (seperti batas minimum) maka intervensi pemerintah dapat dihindarkan.
2.1.2.3. Jenis-jenis Kompensasi
Kompensasi yang berarti penghargaan atau ganjaran ternyata tidak sekedar berbentuk pemberian upah atau gaji sebagai akibat dari pengangkatannya menjadi tenaga kerja sebuah organisasi atau perusahaan. Penghargaan atau ganjaran sebagai kompensasi harus dibedakan jenis-jenisnya sebagai berikut :
A. Kompensasi Langsung (Direct Compensation)
Kompensasi langsung menurut Hadari Nawawi (2005:316) adalah penghargaan atau ganjaran yang disebut gaji atau upah secara tetap berdasarkan tenggang waktu yang tetap. Sejalan dengan pengertian itu, upah atau gaji diartikan sebagai pembayaran dalam bentuk uang secara tunai atau berupa natura yang diperoleh pekerja untuk pelaksanaan pekerjaannya.
Direct compensation consists of compensation management (Base wages and salaries) and pay for performance (incentive and gainsharing). (William B. Werther and Keith Davis, 1996:431)

[Kompensasi langsung terdiri dari manajemen kompensasi (didasarkan atas gaji dan upah) dan pembayaran untuk pelaksanaan (insentif dan bagi hasil)].
Pembayaran kompensasi langsung dapat didasarkan pada jabatan atau kedudukan seperti manajer, supervisor, sekretaris atau pegawai pabrik yang dibayar berdasarkan waktu seperti pegawai menerima upah harian, mingguan, atau bulanan dalam jumlah yang tetap. Kompensasi ini umumnya disebut gaji atau upah (Marihot T.E. Hariandja, 2007:244).
B. Kompensasi Tidak Langsung (Indirect Compensation)
Bentuk kompensasi tidak langsung berbeda-beda demikian pula sebutan atau istilahnya. Ada yang menyebutnya program-program kompensasi tidak langsung, kompensasi tidak langsung, kompensasi pelengkap, program-program pelayanan, pembayaran diluar gaji atau upah, benefit karyawan, tunjangan karyawan dan lain-lain.
Menurut Hadari Nawawi (2005:333) kompensasi tidak langsung adalah sejumlah ganjaran yang bermaksud untuk memberikan rasa tenang bagi pekerja dan anggota keluarganya.
Kompensasi tidak langsung memiliki banyak istilah dalam setiap organisasi ataupun perusahaan, ada yang menyebutnya program tunjangan, program kesejahteraan, benefit karyawan, dan berbagai istilah lainnya. Menurut Edwin Flippo (1997:56) yang diterjemahkan oleh Moh. Masud menjelaskan jenis tunjangan sebagai berikut :
a) Pembayaran untuk waktu tidak bekerja (Payment for time not worked)
Meliputi pembayaran untuk waktu cuti karena sakit, cuti karena alasan pribadi, libur pada hari-hari besar, dan sebagainya.
b) Perlindungan terhadap Bahaya (Hazard Protection)
Ada bahaya tertentu yang tidak bisa dihindari seseorang, seperti penyakit keadaan cacat, ketidakmampuan untuk bekerja secara tetap, usia lanjut dan kematian. Dalam keadaan itu karyawan (dan tanggungannya) harus tetap mendapat penghasilan, karena itulah diperlukan tunjangan khusus untuk itu.
c) Pelayanan Karyawan (Employee Service)
Semua orang harus diberikan pelayanan tertentu secara berkesinambungan seperti perumahan, makanan, nasehat, rekreasi, dan sebagainya. Kecenderungan organisasi untuk menyediakan pelayanan-pelayanan biasa dan rutin semacam itu menjadi nyata dengan adanya program-program tunjangan seperti kafetaria, pelayanan hukum yang dibayar oleh perusahaan, penyuluhan karir, uang sekolah, bantuan dalam perumahan, pelayanan kesehatan, pinjaman dengan biaya rendah, penggunaan kendaraan milik organisasi secara pribadi dan sebagainya.
d) Pembayaran yang dituntut oleh hukum (Regally required payments)
Masyarakat kita, melalui pemerintahnya, telah memutuskan bahwa sejumlah tertentu dari pengeluaran perusahaan akan ditujukan untuk melindungi karyawan terhadap bahaya-bahaya hidup yang utama.
Salah satu kompensasi tidak langsung menurut Llyod L. Byars (2000:368) yaitu,
Employee Benefits (Fringe Benefits) are rewards that employee receive for being members of the organization and for their positions in the organization; usually not related to employee performance.

(Kesejahteraan karyawan (Jaminan sosial) adalah penghargaan yang diberikan kepada karyawan yang merupakan anggota organisasi atau perusahaan dan serta untuk posisi mereka didalam organisasi atau perusahaan; dimana pada umumnya tidak berhubungan dengan kinerja karyawan).
Kompensasi tidak langsung banyak jenis atau bentuknya. Untuk itu menurut Hadari Nawawi (2005:339) dikelompokkan menjadi 3 (tiga) besar, yang terdiri dari :
1. Jaminan Keamanan dan Kesehjateraan Kerja,
2. Pembayaran Upah selama tidak bekerja,
3. Pelayanan bagi pekerja
Selanjutnya akan dibahas secara singkat satu persatu dalam uraian berikut ini.
1. Jaminan Keamanan dan Kesejahteraan Kerja.
Jaminan ini pada dasarnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perasaan aman dan puas (Quality of Work Life/ QWL). Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa sebagai jaminan kehidupan keluarga di masa depan bukanlah monopoli atau hanya berlaku bagi para pekerja di lingkungan suatu organisasi atau perusahaan. Asuransi jiwa dapat dimanfaatkan oleh setiap orang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Organisasi atau perusahaan dapat menggunakan program ini untuk membantu para pekerja agar memiliki rasa aman dalam melaksanakan tugas-tugasnya, terutama berupa tugas-tugas yang berbahaya dengan resiko dapat merenggut kehidupan.
Asuransi dapat dilakukan pertahun untuk kelompok pekerja tertentu yang sangat membutuhkannya, dengan tidak menutup kemungkinan untuk diselenggarakan bagi semua pekerja. Asuransi ini dibayar oleh setiap organisasi atau perusahaan preminya, harus diperbaharui setiap tahun. Kenyataannya program ini sangat besar pengaruhnya pada motivasi kerja, meskipun sebagai pemberian manfaat bagi pekerja yang bersifat fleksibel, mungkin hanya dapat diselenggarakan untuk kelompok tertentu.
b) Kompensasi akibat pekerjaan
Kompensasi tidak langsung ini berbentuk usaha membantu para pekerja yang sifat pekerjaannya dapat mengakibatkan terjadinya gangguan psikologis. Diantaranya dapat berbentuk stress atau yang sejenisnya. Oleh karena sifat dan tingkat gangguannya berbeda-beda, maka sangat diperlukan advis dari para psikiater/psikolog, baik untuk mewujudkan bantuan yang bersifat preventif maupun kuratif.
c) Asuransi Cacat Tubuh
Asuransi ini termasuk asuransi kecelakaan. Keadaan terburuk yang menempatkan asuransi ini menjadi sangat penting, adalah kecelakaan yang berakibat cacat jasmani (tubuh), sehingga pekerja tidak dapat lagi menjalankan fungsi utama dalam pekerjaannya. Dari segi waktu asuransi ini memberi manfaat untuk jangka panjang, karena orang yang menerimanya masih hidup dan dalam keadaan cacat, maka tidak memungkinkannya memperoleh penghasilan.
d) Biaya Rumah Sakit
Dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi pekerja, salah satu bentuknya adalah penyediaan biaya perawatan rumah sakit, termasuk pembedahan dan biaya bersalin (melahirkan). Di satu pihak jaminan kesehatan inisangat diperlukan oleh pekerja dan keluarganya yang menderita sakit berkepanjangan, sedang dipihak lain pembiayaan tersebut dapat menjadi beban yang cukup berat bagi organisasi atau perusahaan. Oleh karena itu untuk tidak merugikan pihak pekerja dan sebaliknya tidak terlalu memberatkan perusahaan, jaminan kesehatan ini dapat diselenggarakannya dalam bentuk asuransi kesehatan, baik dengan premi yang dibayar sepenuhnya oleh organisasi atau perusahaan maupun dengan menentukan persentase tertentu yang dibebankan juga pada upah atau gaji yang diterima pekerja.


e) Jaminan Pengobatan Lainnya
Jaminan ini bermaksud memperluas kompensasi tidak langsung yang tidak sekedar mengenai pekerja yang menderita sakit berkepanjangan, tetapi juga berbagai aspek kesehatan lainnya seperti perawatan dan pengobatan gigi, mata termasuk kaca mata yang berpengaruh pada pelaksanaan pekerjaan, bahkan mungkin juga untuk penyembuhkan dari kecanduan obat, alkohol, dan gangguan mental yang bersifat relatif berat.
f) Tidak bekerja karena Sakit
Program ini diberikan berupa jaminan bahwa pekerja tidak berkurang atau kehilangan penghasilannya, apabila menderita sakit yang tidak terlalu lama, sehingga tidak dapat bekerja seperti biasa. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan, banyak organisasi atau perusahaan membaliknya dengan menyelenggarakan program memberikan insentif bagi pekerja yang tidak pernah sakit atau absen, yang dilakukan setahun sekali. Program seperti itu biasanya lebih dirasakan artinya sebagai kompensasi tidak langsung, berbeda dengan tidak bekerja tanpa dikurangi atau tidak dibayar gajinya, karena banyak pekerja yang tidak merasakannya telah menerima kompensasi tidak langsung.

g) Program Pensiun
Pensiun adalah dana yang dibayarkan secara reguler dengan interval tertentu kepada seorang pekerja (dan keluarganya) setelah berhenti dari perusahaan. Untuk itu harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, karena sifatnya adalah pemberian bagian dari keuntungan yang diperoleh perusahaan. Dewasa ini belum tersedia standar tentang besarnya uang pensiun (kecuali untuk pekerja dilingkungan pemerintahan atau pegawai negeri) dan sangat sedikit ketentuan pemerintah yang mengaturnya.
h) Jaminan Sosial
Program ini pada umumnya diselenggarakan oleh negara-negara kaya dalam arti memiliki pemasukan keuangan negara yang cukup besar. Progaram ini diselenggarakan untuk mencegah kemiskinan atau kemelaratan di hari tua, dengan cara memberikan penghasilan yang telah terputus, yang pada masa sebelumnya sebagai pekerja memiliki penghasilan yang baik. Di Indonesia program jaminan sosial ini terdiri dari: Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).
i) Uang Pesangon
Dana ini berbentuk pembayaran uang sebesar satu kali atau lebih upah atau gaji pada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, karena pengurangan tenaga kerja oleh suatu organisasi atau perusahaan. Penetapan jumlah uang pesangon dipengaruhi oleh masa kerja, kedudukan dalam organisasi atau perusahaan dan sebab seorang pekerja berhenti atau diberhentikan. Salah satu sebab lain karena pengurangan tenaga kerja adalah akan ditutupmya suatu perusahaan karena gagal dalam melaksanakan bisnisnya.
2. Pembayaran Upah selama Tidak Bekerja
Bentuk kedua dari kompensasi tidak langsung adalah pembayaran gaji atau upah tanpa dikurangi atau dipotong, meskipun seseorang pekerja untuk jangka waktu tertentu tidak melaksanakan tugas-tugasnya. Bentuk dari kompensasi ini terdiri dari:
a. Liburan dan atau vakansi.
b. Tidak hadir dengan pemberitahuan.
c. Meninggalkan pekerjaan karena urusan pribadi.
d. Tidak hadir karena kemalangan.
e. Cuti seperti cuti tahunan, cuti hamil, cuti besar dan lain-lain.
3. Pelayanan untuk Pekerja
Bentuk kompensasi tidak langsung yang ketiga adalah penyelenggaraan program pelayanan bagi para pekerja, yang diberikan tanpa didasarkan pada jasa atau prestasi dalam melakasanakan pekerjaan. Beberapa bentuknya terdiri dari:
a. Dana Bantuan Belajar.
Program kompensasi tidak langsung ini dapat diselenggarakan organisasi atau perusahaan dengan menyediakan dana untuk belajar bagi pekerja yang potensial.
b. Program pemberian pinjaman (kredit) yang dananya disalurkan melalui serikat pekerja, termasuk juga koperasi yang diselenggarakannya.
c. Penyediaan pelayanan makan dan minum dalam jam kerja, berupa minuman beserta makanan ringan dan makan siang.
d. Kendaraan perusahaan yang disediakan untuk para eksekutif, yang jika perusahaan memiliki kemampuan yang cukup tinggi, mungkin sampai pada manajer tingkat rendah atau bawah.
e. Asuransi kendaraan bagi kendaraan perusahaan yang diperuntukkan bagi pekerja secara individual.
f. Baju kerja atau pakaian dinas, baik untuk pekerja tingkat bawah dan menengah, maupun untuk para eksekutif sesuai kemampuan organisasi atau perusahaan.
g. Bantuan hukum untuk pekerja yang memerlukannya dalam menghadapi masalah pribadi diluar organisasi atau perusahaan.
h. Program koperasi simpan pinjam, untuk memberi kesempatan para pekerja menabung dan menghemat penghasilannya.
i. Program kebugaran dan kesehatan jasmani, seperti klub olah raga, senam, dan lain-lain.
j. Angkutan atau transport bersama untuk jemputan dan pulang bagi para pekerja yang membutuhkannya. Sedang bagi yang bekerja dengan kendaraan pribadi dapat dilakukan dengan menyediakan tempat parkir gratis.
k. Bonus tahunan, termasuk Tunjangan Hari Raya (THR) atau Hari Natal.
l. Penyelenggaran program konselling atau penyuluhan, baik dalam menghadapi masalah pekerjaan maupun masalah pribadi yang berpengaruh pada pelaksanaan pekerjaan.
m. Tidak bekerja atau diizinkan tidak bekerja karena urusan keluarga.
n. Pemberian pelayanan khusus atau penghargaan pada pekerja berdasarkan senioritasnya.
o. Pemberian jaminan atau persetujuan dalam usaha mendapatkan pinjaman dengan angsuran dari gaji. Misalnya pembelian rumah, kendaraan dan pinjaman bank dan lain-lain.
p. Pemberian kesempatan ikut serta dalam kegiatan sosial, yang sewaktu-waktu mengharuskan pekerja tidak bekerja.
q. Pemberian penghargaan bagi pekerja yang berjasa pada perusahaan atau yang berprestasi.
r. Pemeliharaan anak, terutama dengan memberikan tunjangan anak yang dimasukkan didalam gaji atau upah.
Menurut Hadari Nawawi (2005:363) memaparkan mengenai pemberian kompensasi yang efektif, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Berharga bagi pekerja,
b. Diberikan dalam jumlah yang memadai,
c. Diberikan pada waktu yang tepat,
d. Diberikan dalam berbagai jenis yang disukai,
e. Diberikan secara adil/wajar dan fair.
Kelima hal diatas mengenai pemberian kompensasi yang efektif, akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Berharga bagi Pekerja
Dalam pemberian kompensasi harus dirasakan sebagai sesuatu yang berharga bagi para pekerja yang tidak sama kebutuhannya. Pemberian kompensasi yang berharga itu mungkin saja bukan berbentuk finansial, atau material. Pemberian kompensasi yang memadai adalah sesuatu yang mampu memotivasi agar pekerja secara terus menerus bekerja sebaik mungkin.
b. Diberikan Dalam Jumlah Yang Memadai
Dalam pemberian kompensasi, persoalan yang dihadapi adalah kesulitan dalam menentukan besarnya (jumlah) kompensasi yang dianggap cukup atau memadai. Salah satu bentuknya adalah kompensasi yang prestasi (dengan menetapkan sejumlah insentif bagi yang berprestasi atau produktivitasnya melampaui target tugas pokoknya. Untuk itu dalam menetapkan jumlahnya pada umumnya disepakati adanya perbedaan persentase insentif antara jabatan secara vertikal.
c. Diberikan pada Waktu yang Tepat
Ketepatan waktu sangat fundamental dalam sistem kompensasi untuk memotivasi pelaksanaan pekerjaan. Ketepatan waktu akan berpengaruh dan menentukan tingkat efektivitas, dalam memotivasi pekerja. Kompensasi yang tidak tepat waktunya akan kehilangan atau berkurang energinya dalam memotivasi para pekerja, yang berarti tidak boleh ditunda-tunda memberikannya. Disamping itu kompensasi juga sebaiknya tidak diberikan sebelumnya waktunya. Waktu yang tepat sangat bergantung pada kemampuan melaksanakan pekerjaan secara prima dan hasil terbaik yang dapat dicapai seseorang pekerja, dengan kata lain waktu yang tepat memberikan kompensasi tersebut agar memotivasi dalam bekerja adalah pada saat pekerja berhasil memenuhi persyaratan untuk memperolehnya. Dengan memenuhi ketepatan waktu berarti kompensasi akan berfungsi sebagai motivasi yang potensial, untuk terus melaksanakan pekerjaan secara maksimal.
d. Diberikan dalam berbagai jenis yang disukai
Pemberian insentif yang tidak efektif dalam memotivasi jika diberikan bersamaan dengan pembayaran upah/gaji. Demikian juga jika kompensasi akan diberikan berupa promosi ke jenjang jabatan yang lebih tinggi atau pemberian surat penghargaan. Kondisi pemberian kompensasi diatas berarti juga seorang manajer harus mampu menilai jenis kompensasi apa yang paling disenangi para pekerja secara individual. Diantara para pekerja mungkin saja promosi tidak terlalu disukainya, karena bukan merupakan jabatan yang ideal baginya. Pekerja tersebut mungkin lebih menyukai pemindahan horizontal pada jabatan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dengan karir masa depan yang ideal untuk jangka panjang dibidangnya.
e. Diberikan secara adil/wajar dan fair
Pemberian ini berhubungan dengan rasa kepuasan, baik dalam perbandingan jumlahnya yang diharapkan sehingga dirasakan wajar atau adil, maupun jika dibandingkan antara pekerja yang menerima kompensasi dari pelaksanaan pekerjaan atau hasilnya yang cenderung memiliki kesamaan, sehingga dirasakan fair. Aspek lain berhubungan dengan kepuasan yang tidak bernilai ekonomis, seperti kepuasan instrinsik karena ditempatkan pada bidang kerja yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
2.1.3. Lingkungan Kerja
Dalam perjalanan suatu organisasi apapun tidak pernah memisahkan atau terpisahkan diri dengan lingkungan dimana organisasi tersebut berada, hal ini tentunya lebih dikarenakan adanya ketergantungan antar organisasi atau individu organisasi. Kemampuan organisasi untuk bertahan sejauh mana kemampuan organisasi tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungannya.
2.1.3.1. Pengertian Lingkungan Kerja
Menurut Nitisemito (1991:183) adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja dan dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugasnya yang dibebankannya.
2.1.3.2. Jenis Lingkungan Kerja
Menurut Husein Umar (2003:174) menjelaskan bahwa dalam suatu organisasi lingkungan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
“Lingkungan Internal merupakan aspek-aspek yang ada didalam perusahaan, yaitu aspek keuangan, aspek sumber daya manusia, aspek pemasaran, aspek operasional, aspek manajemen. Sedangkan Linkungan Eksternal dibagi menjadi dua kategori, yaitu lingkungan jauh terdiri dari factor politik, factor teknologi, factor ekonomi, dan factor social; sedangkan lingkungan industri terdiri dari aspek hambatan masuk, aspek daya tawar pemasok, aspek daya tawar pembeli, aspek ketersediaan barang substitusi, dan aspek persaingan dalam industri.”
2.1.3.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Lingkungan Kerja
Menurut Sondang Siagian (2004:134) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja adalah :


1) Hubungan Kerja
Hubungan Kerja merupakan factor dari lingkungan kerja yang mempengaruhi kerja karyawan. Dalam suatu organisasi atau perusahaan, karyawan akan terlibat dalam hubungan kerja antara karyawan dengan karyawan, karyawan dengan atasan, dan kedua-duanya sama-sama memberikan pengaruh terhadap kinerja karyawan.
2) Kondisi Kerja
Kondisi kerja yang mendukung sangat diperlukan, karena akan meningkatkan produktivitas kerja, efisiensi dan efektivitas kerja. Hal ini antara lain dengan tersedianya sarana dan prasarana kerja yang memadai.
Menurut Hasibuan (1995:32) menerangkan bahwa :
“Betapa pun positifnya perilaku manusia seperti tercermin dalam kesetiaan yang besar, disiplin yang tinggi dan dedikasi yang tidak diragukan, maka tanpa sarana dan prasarana kerja yang baik, karyawan tidak akan dapat berbuat banyak apalagi dalam hal meningkatkan efisiensi, efektivitas serta produktivitas kerja”.
Kebutuhan karyawan akan kondisi kerja yang baik merupakan factor yang sangat penting dan mendapat perhatian karena seorang pekerja menggunakan sepertiga hidupnya dalam lingkungan kerja setiap harinya.
Sedangkan menurut Sondang Siagian (2004:131) menerangkan bahwa kondisi kerja tidak terbatas hanya pada kondisi kerja ditempat pekerjaan masing-masing seperti nyamannya tempat kerja, ventilasi yang cukup, penerangan lampu yang memadai, kebersihan tempat pekerjaan, keamanan dan hal-hal yang sejenis, tetapi juga lokasi tempat kerja dikaitkan dengan tempat tinggal karyawan.
Kondisi kerja yang mendukung sangat relevan dan benar untuk menekankan bahwa efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja pada akhirnya tergantung pada unsur manusia dalam organisasi.
Kondisi tempat kerja memiliki dua dimensi, yaitu :
a. Lingkungan Fisik yang bersifat nyata yang terdiri dari kebersihan, penerangan, ventilasi udara yang cukup, warna dinding, peralatan kerja, lay out dalam hal penataan ruang serta lokasi kerja,
b. Lingkungan fisik yang abstrak meliputi tingkat kebisingan, suhu ekstrim yang dapat mengakibatkan stress, radiasi ionisasi yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh, tekanan ekstrim/tekanan atmosfir dan tekanan udara yang dapat pecahkan pembuluh darah karena menerima tekanan mendadak.


3) Layanan Kerja
Layanan kerja yang diberikan organisasi kepada karyawannya akan membantu karyawan untuk dapat berkonsentrasi dalam menggunakan keahliannya dan dapat berkreativitas dalam bekerja. Layanan kerja merupakan fasilitas yang diberikan kepada karyawan untuk memudahkan kebutuhan karyawan seperti kantin, perumahan, mushola atau tempat ibadah.
2.2. Kerangka Pemikiran
Karyawan adalah makhluk sosial yang merupakan aset atau kekayaan perusahaan atau organisasi. Sebagai manusia, karyawan memiliki pikiran, perasaan, dan keinginan yang akan mempengaruhi sikapnya. Sikap menentukan prestasi, dedikasi, dan kecintaan terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Sikap karyawan menunjukkan kinerja bagi karyawan itu sendiri. Kinerja karyawan menunjukkan moral, kedisplinan karyawan serta loyalitas terhadap perusahaan.
Motivasi berprestasi merupakan variabel terikat pada penelitian ini, sedangkan kompensasi (X1) dan lingkungan kerja (X2) merupakan variabel bebas yang mempengaruhi motivasi berprestasi (Y).
Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan adanya keterkaitan antara variabel bebas dan terikat yang penulis peroleh atas dasar dugaan sementara diawal penelitian yang berpijak pada penelaah literatur. Variabel-variabel tersebut diselesaikan agar sesuai dengan judul tesis serta keadaan perusahaan yang akan diteliti.

DAFTAR PUSTAKA


Byars, Llyod. L and Leslie W Rue., Human Resource Management, Sixth Edition, McGraw-Hill, 2000.

Dessler, Gary., Human Resource Management, Ninth Edition, Prentice-Hall, 2003.

Davis Keith, JR and William B Werther. Human Resource and Personnel Management, Fifth Edition, McGraw-Hill 1996.

Flippo, Edwin., Manajemen Personalia, penterjemah : Moh. Masud, edisi
keenam, Jakarta, 2002.

Gibson, James L., Manajemen, penterjemah : Zuhad Ichyaudin, edisi kesembilan, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1997.

Handoko, T Hani., Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Edisi kedua, Yogyakarta, Penerbit BPPE, 2001.

Hanafi, Mamduh M., Manajemen. Yogyakarta, Penerbit Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2003.

Hasibuan, Malayu SP. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara, 2007.

Hariandja Marihot Tua, Efendi. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta Penerbit Grasindo, 2007.

Mathis, Robert L and John H Jackson. Human resource Management, Tenth Edition, Ohio, Thomson South-Western, 2003.

Mangkunegara, A Anwar Prabu. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung, Penerbit PT Remaja Kosda Karya Bandung, 2007.

Nawawi, Hadari. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis yang Kompetitif, Yogyakarta, Penerbit Gajah Mada University Press, 2005.

Nitisemito, Alex. Manajemen Personalia, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia, 2001.

Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis., Bandung, Penerbit Alfabeta, 2006.
Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi, Versi Bahasa Indonesia, Edisi kedelapan, Jakarta PT Prenhallindo, 2001.

Siagian, Sondang P. Teori Motivasi dan Aplikasinya, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2004.

Simamora, Henry. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Kesatu, Yogyakarta, Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 1995.

Siswanto, H.B. Pengantar Manajemen, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara, 2006.

Supranto, J. Teknik Sampling untuk Survey dan Eksperimen, Edisi Baru, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2000.

Swastha, Basu. Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi Perusahaan), Edisi Ketiga, Yogyakarta, Penerbit Liberty, 2000.

Umar, Husein. Strategic Management In Action, Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Zainun, Buchari. Manajemen dan Motivasi. Jakarta, Penerbit Balai Aksara, 2000.